OLEH : I KOMANG OKA ARDANA
ABSTRAK
Catur Asrama sebagai
empat jenjang kehidupan yang berlandasakan petunjuk kerohanian Hindu mengajarkan tentang program hidup sesuai dengan fase dalam kurun waktu
tertentu. Dalam fase kehidupan Catur Asrama hidup
dipolakan, sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang berada pada fase
pertama, tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase kedua,
ketiga ataupun keempat. Masing-masing jenjang memiliki warna tersendiri dan
semua jenjang itu harus dilewati hingga akhir hayat dikandang badan. Ajaran Catur
Asrama pada jaman
sekarang mendidik manusia
agar melaksanakan swadharma sesuai dengan
jenjang umur yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka penting sekali manusia
dijaman sekarang selalu bercermin pada ajaran Catur Asrama sehingga tidak
menjalankan dua asrama dalam satu
fase kehidupan. Konsekuensi atas penyimpangan pada ajaran Catur Asrama akan menyebabkan manusia lebih terbebani dalam
menjalankan hidup.
I.
Pendahuluan
Pendidikan umumnya
dipahami sebagai suatu kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan
senantiasa berwatak netral. Akan tetapi, para praktisi pendidikan di lembaga
pendidikan ataupun sekolah formal banyak yang tidak sadar bahwa mereka tengah
terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan.
Pendidikan bagaikan sepotong ranting rapuh terombang-ambing mengapung di atas
samudera kebudayaan yang mahaluas. Kadang-kadang ditarik oleh gelombang
idiologi dibawa ke tengah samudera dan kembali lagi didorong ke luar menuju
pantai harapan bersama gulungan-gulungan ombak kepentingan yang memang tidak
pernah surut dari masa ke masa. Ambivalensi dan ambigusitas menjadi karakternya
sehingga eguana pendidikan hidup dalam beraneka warna aliran, paham, idiologi,
bahkan kepentingan. Oleh karena itu Fakih (dalam O’neil, 2002) memberikan
pemetaan aliran paradigma pendidikan yang digunakan oleh Henry Giroux and
Aronowitz (1985) yang membagi ideologi pendidikan menjadi tiga aliran, yaitu
konservative, liberal, dan kritis.
Pertama, paradigma
konservative memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu
hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari, dan sudah
merupakan ketentuan sejarah, bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka
bukanlah hal yang harus diperjuangkan karena perubahan hanya akan membuat
manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik paradigma konservative
dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa
merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Menurutnya hanya
Tuhan-lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna di
balik itu semua. Artinya, kaum konservative klasik menganggap masyarakat tidak
memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Jadi, pendidikan
hanya menjadi hamba kekuasaan.
Kedua, paradigma
liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat,
terutama persoalan politik dan ekonomi, tetapi pendidikan tidak ada kaitannya
dengan persolan tersebut. Artinya, tugas pendidikan tidak ada sangkut-pautnya
dengan persoalan politik dan ekonomi. Walaupun demikian, kaum liberal selalu
berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan politik dan ekonomi di
luar dunia pendidikan, yaitu dengan jalan memecahkan masalah yang ada dalam
pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Umumnya yang dilakukan seperti
perlunya membangun ruang belajar dan fasilitas baru, laboratorium dengan
peralatan dan perlengkapan yang canggih, dan berbagai usaha untuk menyehatkan
rasio guru-murid. Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yaitu suatu
pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan melindungi hak, kebebasan, dan
mengidentifikasi problem, serta upaya perubahan sosial secara instrumental demi
menjaga stabilitas jangka panjang. Model tipe ideal mereka adalah manusia
“rationalis liberal”, seperti bahwa manusia memiliki potensi sama dalam
intelektual; baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal;
dan individualis yang menganggap bahwa manusia adalah atomistik dan otonom.
Ketiga, paradigma
kritis memandang bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan politik. Paradigma
ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi
masyarakat di mana pendidikan berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender
dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Dalam perspektif ini,
urusan pendidikan adalah melakukan refleksi terhadap ‘the dominant ideology’ ke
arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar
sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan
dekontruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Dalam hal ini
pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan
menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata
lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan kembali manusia yang mengalami
dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa bagi paradigma konservative pendidikan bertujuan untuk menjaga
status quo, sedangkan bagi paradigma liberal pendidikan bertujuan untuk
perubahan moderat, tetapi paradigma kritis menghendaki perubahan struktur
secara fundamental dalam politik dan ekonomi masyarakat. Walaupun demikian,
pada hakikatnya pendidikan yang diperlukan manusia adalah pendidikan yang dapat
mengantarkan manusia menjadi lebih manusiawi. Seperti banyak dijelaskan dalam
filsafat pendidikan bahwa pendidikan pada hakikatnya memberikan wawasan agar
manusia mengerti dan memahami dirinya sebagai manusia yang berkesadaran,
bermoral, dan berkemanusiaan. Dengan demikian manusia dapat menjadi dirinya,
baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungannya sehingga mampu
hidup berdampingan secara harmonis dengan sesamanya, bahkan dengan segala
makhluk. Inilah yang disebut manusia matang dan dewasa yang mampu bertanggung
jawab, baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain dan lingkungannya.
Seperti dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi
manusia mandiri dalam mewujudkan masyarakat madani. Inilah hakikat tujuan
pendidikan dan bukan sekadar hanya menciptakan manusia pekerja bagi
pengembangan industri dan memperkuat kapitalisme serta membangun mental
borjuis. Oleh karena itu dalam Hindu diajarkan catur asrama sebagai tahapan
perkembangan kehidupan dan catur purusa artha sebagai tujuan kehidupan manusia.
Keterpaduan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan dapat diamati dari sistem sosial kemasyarakatan orang Bali dan tujuan hidupnya. Seperti ditegaskan oleh Takwin (2003) bahwa kebudayaan dan agama Hindu di Bali tampak begitu menyatu dalam kehidupan masyarakat sebagai adat istiadat atau tradisi sehingga tidak mudah membedakan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan. Dalam hal ini tampak dalam jalinan antara catur asrama sebagai tahapan kehidupan dan tri hita karana sebagai landasan sistem sosial kemasyarakatan serta tujuan hidup yang berdasarkan pada catur purusa artha. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan masyarakat Hindu di Bali telah terwujud keselarasan antara harmoni catur asrama dan tri hita karana dengan realisasi catur purusa artha, baik dalam pikiran dan perkataan maupun tindakan. Keharmonisan ini tampak mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari sebagai yadnya.
Dengan demikian pada prinsipnya terdapat keselarasan antara hakikat tujuan pendidikan nasional dan ajaran catur asrama. Akan tetapi, masyarakat Hindu dan khususnya masyarakat Hindu di Bali belum memahami jalinan dan keselarasan tersebut sehingga cenderung diabaikan.
Keterpaduan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan dapat diamati dari sistem sosial kemasyarakatan orang Bali dan tujuan hidupnya. Seperti ditegaskan oleh Takwin (2003) bahwa kebudayaan dan agama Hindu di Bali tampak begitu menyatu dalam kehidupan masyarakat sebagai adat istiadat atau tradisi sehingga tidak mudah membedakan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan. Dalam hal ini tampak dalam jalinan antara catur asrama sebagai tahapan kehidupan dan tri hita karana sebagai landasan sistem sosial kemasyarakatan serta tujuan hidup yang berdasarkan pada catur purusa artha. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan masyarakat Hindu di Bali telah terwujud keselarasan antara harmoni catur asrama dan tri hita karana dengan realisasi catur purusa artha, baik dalam pikiran dan perkataan maupun tindakan. Keharmonisan ini tampak mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari sebagai yadnya.
Dengan demikian pada prinsipnya terdapat keselarasan antara hakikat tujuan pendidikan nasional dan ajaran catur asrama. Akan tetapi, masyarakat Hindu dan khususnya masyarakat Hindu di Bali belum memahami jalinan dan keselarasan tersebut sehingga cenderung diabaikan.
Asisten I
Direktur Program S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia (UNHI)
Denpasar Drs. Wayan Budi Utama, M.Si. mengatakan pada usia belajar, pikiran
anak-anak seperti tajamnya tunas ilalang. Pada saat tajamnya pikiran itulah
berbagai ilmu dengan mudah dikuasai. Demikian mestinya umat Hindu menjalankan
sistem sosialnya yang telah diwarisi konsep catur asrama yang demikian
bagusnya. Spirit nilai yang terkandung dalam konsep itu masih sangat strategis
dimaknai dalam konteks kekinian. ''Ketika pengaruh global melanda semua sisi
kehidupan, tampaknya spirit itu masih sangat relevan digunakan sebagai
pegangan. Misalnya, ketika kemajuan teknologi sangat deras mempengaruhi kehidupan
generasi muda, benteng yang bisa diandalkan adalah nilai-nilai pendidikan,
terutama budi pakerti,'' katanya. Masa brahmacari inilah kesempatan emas
bagi generasi muda untuk menimba ilmu pengetahuan setinggi-tingginya, termasuk
dalam bidang agama. Jika benteng pertahanan itu sudah kuat, sederas apa pun
arus global menerjang, anak-anak akan selamat. Anak-anak tidak akan mudah
terperosok pada pemakaian obat-obatan terlarang, pergaulan atau seks bebas dan
sebagainya.
Hindu telah mewariskan pembabakan atau termin tingkat hidup
disesuaikan dengan perkembangan psikologis dan intelektual umat yang dikenal
dengan catur asrama --brahmacari, grehasta, wanaprasta dan biksuka. Terutama
dalam tahapan brahmacari, dunia pendidikan mesti menjadi perhatian utama. Sebab,
ilmu pengetahuan merupakan lentera dalam menerangi gelapnya kehidupan,''
ujarnya.
Sementara pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi
peningkatan mutu SDM. Bagaimana bisa bersaing jika SDM Hindu tidak berkualitas.
Melalui pendidikanlah kualitas diri bisa ditingkatkan. Pada saat brahmacari-lah
ilmu pengetahuan mesti digali sebanyak-banyaknya. Tetapi bukan berarti belajar
berhenti pada masa brahmacari. Belajar tetap sepanjang hayat. Pendidikan
menjadi sesuatu yang penting dalam Hindu, sehingga anak yang dilahirkan menjadi
generasi yang suputra. Bahkan, proses pendidikan (pendidikan prenatal) itu
sudah berlangsung saat terjadi pembuahan. Maka, dalam ritual Hindu dikenal
istilah magedong-gedongan. Selama masa kehamilan, dalam teologi Hindu ada
sesuatu yang bisa dipedomani, misalnya si ibu tidak boleh dibuat terkejut dan
sebagainya. Ketika lahir, ada tahapan-tahapan perlakukan terhadap anak-anak.
Kapan ia diperlakukan sebagai raja semua kemauannya dituruti. Kapan ia
diperlakukan sebagai ''budak'', bisa disuruh untuk mengerjakan sesuatu, dan
kapan ia dijadikan sebagai teman. Umumnya, ketika anak-anak menginjak usia
remaja orangtua memperlakukannya sebagai teman. Berbagai kesulitan yang
dialami, dicarikan jalan pemecahannya.
Jadi pada masa brahmacari itulah, kata Budi Utama,
kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ) saatnya dikembangkan. Dalam hal ini orangtua sangat besar perannya dalam
pengembangan semua kecerdasan itu. Terutama kecerdasan spiritual, orangtua
memiliki peran yang strategis dalam mengembangkannya. Karena itu, di rumah,
anak-anak mesti dilibatkan pada hal-hal yang bersifat spiritual seperti dalam
pembuatan bahan-bahan ritual sehingga SQ-nya berkembang dengan baik. Dalam masa
brahmacari, semua kecerdasan hendaknya dikembangkan secara seimbang, sehingga
anak-anak menjadi generasi yang utuh. Lagi pula, keberhasilan anak-anak dalam
melakoni hidupnya kemudian (masa grehasta) tidak hanya ditentukan oleh
kecerdasan intelektual. Dua kecerdasan lainnya yakni EQ dan SQ, juga besar
perannya. Sementara pada masa brahmacari, umat lebih fokus pada pencarian artha
dan kama. Namun, dalam pencarian artha dan kama itu dasarnya tetap dharma. Pencarian
artha itu selain untuk melangsungkan kehidupan, juga untuk membiayai pendidikan
anak-anak, selain didana-puniakan dan disisihkan untuk kepentingan yadnya.
Sementara pada saat menapaki kehidupan wanaprasta, umat
sesungguhnya dituntun untuk mengasingkan diri dari hal-hal yang berbau
keduniawian. Dulu, menapaki hidup wanaprasta umat pergi ke hutan untuk
menyepikan diri. Tetapi dalam konteks sekarang, ''hutan belantara'' itu berada
di tengah-tengah kita. Agar umat mampu menghindari diri dari kobaran api hawa
nafsu, memang memerlukan pengendalian diri. Pada usia yang sudah lanjutlah,
umat cocok sekali mendalami hal-hal yang berbau spiritual.
Sementara pada masa brahmacari, umat mesti lebih banyak
mengejar ilmu mempelajari buku-buku. Sebab, buku itu merupakan jendela dunia. Dengan
banyak membaca, belajar dan berguru, niscaya generasi muda Hindu mampu menjadi
anak yang suputra -- yakni anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan
berbekalkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai, umat tidak akan
mengalami kesulitan dalam persaingan global. ''Dulu, saya ingat waktu sekolah
anak-anak di-drill intelektualnya dengan aksara dan wariga. Hal itu strategis
untuk membangkitkan logika berpikir,'' kata IB Jelantik yang Asdir III Program
S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi itu.
II.
Pembahasan
|
1.
Catur Asrama merupakan Sistem Pendidikan
Hindu
Asrama menurut Gandhi
(1981) berarti suatu kehidupan bermasyarakat dari orang-orang beragama.
Menurut agama Hindu bahwa kehidupan manusia dilalui dalam empat tahapan yang
disebut catur asrama, yaitu brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka.
Menurut Panitya Tujuh Belas (1986:135) bahwa catur asrama berarti empat
tahapan masa kehidupan manusia. Empat tahapan masa kehidupan manusia, yaitu
brahmacari adalah masa belajar; grehasta adalah masa pembinaan keluarga dan
bermasyarakat; wanaprasta adalah masa perjuangan hidup yang ditujukan pada
pengendalian diri, mendalami kitab suci, dan mengusahakan dharma; sedangkan
sanyasa atau bhiksuka adalah masa kehidupan rohaniah dan seluruh kehidupan
ditujukan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa
Tahapan-tahapan
perkembangan kehidupan manusia dalam masyarakat Hindu di Bali ditandai dengan
melaksanakan upacara keagamaan. Upacara keagamaan untuk menyucikan kehidupan
manusia disebut manusa yadnya, salah satu dari jenis panca yadnya. Upacara
ini dilaksanakan sejak janin dalam kandungan hingga lahir dan melangsungkan
perkawinan setelah dewasa. Menurut Putra (1998:33) bahwa manusa yajna
merupakan pendidikan, pemeliharaan, dan penyucian secara spiritual terhadap
seorang anak sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir
hidupnya. Artinya, proses pendidikan tidak hanya berlangsung setelah anak itu
lahir, tetapi telah berlangsung dan dapat diberikan sejak anak masih dalam
kandungan sebagai pendidikan pranatal. Seperti ditegaskan oleh Sudharta
(1993:2), bahkan pembentukan watak itu sudah dimulai ketika ibu bapak
mengadakan senggama yang harus dilakukan dengan tujuan mendapat anak yang
baik.
Putra (1998:35) menjelaskan bahwa upacara-upacara dalam manusa yajna dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik yang disebabkan oleh kedua orang tua. Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara di dalam kandungan, kelahiran, pemberian nama, gelang, dan perhiasan lainnya sampai pada upacara penggungtingan rambut pertama. Kedua, upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik disebabkan oleh perbuatan sendiri semasa hidup yang lampau dan sekarang. Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara peringatan hari lahir (otonan), meningkat dewasa, potong gigi, dan perkawinan. Artinya, upacara manusa yadnya yang dilaksanakan dalam masyarakat Hindu di Bali dimaksudkan sebagai peringatan terhadap masa-masa peralihan dalam perkembangan kehidupan manusia. Masa-masa peralihan ini secara psikologis merupakan masa transisi yang bersifat kritis sehingga memiliki kecenderungan mengalihkan arah perkembangan kehidupan ke arah yang kontra produktif.
Berdasarkan tahapan kehidupan manusia Hindu
dalam hubunganya dengan upacara manusa yadnya maka dapat dipahami bahwa
kehidupan manusia berkembang ke arah yang semakin sempurna. Mengingat hal ini
tidak jauh berbeda dengan hakikat dari penyelenggaraan pendidikan nasional
seperti telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan bahwa catur asrama
adalah model dan sistem pendidikan Hindu. Dalam hal ini, catur asrama
menawarkan model dan sistem pendidikan Hindu sebagai konsepsi pendidikan
sepanjang hayat. Untuk itu catur asrama tidak dapat dilepaskan dari catur
purusa artha, yang adalah tujuan kehidupan menurut Hindu, yaitu dharma
(kebajikan), artha (harta), kama (keinginan), dan moksa (kebahagiaan).
Catur asrama sebagai model dan sistem pendidikan Hindu atau konsepsi pendidikan sepanjang hayat dapat disajikan seperti berikut.
1)
Brahmacari
Brahmacari menurut
Sudharta (2001:49) ialah tingkatan hidup manusia pada waktu sedang mengejar
ilmu pengetahuan atau ilmu ketuhanan. Brahma berarti ilmu pengetahuan atau
ilmu ketuhanan; dan cara artinya tingkah laku dalam mengejar. Masa belajar
menurut sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa masa belajar pada jenjang
pendidikan dasar adalah selama 9 tahun, yaitu terdiri atas 6 tahun di Sekolah
Dasar dan 3 tahun di Sekolah Menegah Pertama; selama 3 tahun pada jenjang
pendidikan menengah; dan selama 4 tahun pada tingkat pendidikan tinggi. Jadi,
masa belajar sampai menamatkan pendidikan tinggi adalah selama 16 tahun.
Apabila usia awal memasuki pendidikan di sekolah dasar mulai dari usia 7
tahun maka masa belajar seluruhnya menjadi 23 tahun. Dengan pertimbangan ini
(dengan mengabaikan masa pendidikan pranatal dan pendidikan prasekolah) maka
masa brahmacari dapat ditentukan lebih kurang sampai pada 25 tahun.
Masa ini merupakan masa untuk mengembangkan
dan membangun diri, yaitu membentuk identitas dan jati diri. Oleh karena itu
kehidupan manusia pada masa ini diwarnai oleh ativitas dan kreativitas
belajar dan belajar sebagai upaya untuk membangun landasan kehidupan yang
kuat. Landasan ini berupa keseimbangan kehidupan antara pisik dan psikis,
yaitu kematangan dan kewasaan. Landasan ini dapat disebut dengan dharma
(kebajikan). Untuk membangun landasan yang utuh dan kukuh diperlukan ilmu-ilmu
gelar urip atau guna vidya. Bila tiga kerangka agama Hindu, yaitu tattwa,
susila, dan acara dapat dimaknai sebagai standar kompetensi dan tiga ranah
esensi pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor maka isi kurikulum
pendidikan sebagai standar kompetensi masa brahmacari dapat ditawarkan dalam
rumusan sebagai berikut.
2)
Grehastha
Grehastha menurut
Sudharta (2001:49) adalah tingkat kehidupan pada waktu membina rumah tangga,
yaitu dengan kawin atau melahirkan keturunan. Grha berarti rumah atau rumah
tangga, dan astha artinya berdiri atau mendirikan, membina. Dengan
mengandaikan bahwa masa brahmacari adalah usia 0 – 25 tahun maka awal masa
grehastha adalah mulai dari usia 25 tahun; dengan mengandaikan bahwa seorang
pegawai menjalankan masa pensiun setelah mencapai usia 60 tahun maka dapat
ditentukan bahwa akhir masa grehastha adalah 60 tahun; dengan demikian maka
masa grehastha adalah dari usia 25 sampai pada usia 60 tahun.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa masa ini merupakan masa yang penuh dengan aktivitas dan kreativitas (kehidupan) dalam berbagai dimensi dan skalanya. Oleh karena itu pada masa ini perlu ditekankan penanaman tentang pengertian dan pemahaman tentang tata kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan wawasan lingkungan. Mengingat dalam lingkungan tersebut eksistensi manusia mulai diperjuangkan, baik melalui kewajiban maupun pengabdian hidup. Untuk membangun kehidupan grehasta seperti itu maka diperlukan pendidikan yang berlandaskan pada ilmu-ilmu gelar urip atau guna vidya berdasarkan pada dharma (kewajiban). Dalam hal ini dapat ditawarkan rumusan isi kurikulum pendidikan sebagai standar kompetensi masa grehasta seperti berikut.
3)
Wanaprastha
Wanaprastha menurut
Sudharta (2001:49) ialah tingkat hidup persiapan untuk lebih meningkatkan
hidup kerohanian dan perlahan-lahan membebaskan diri dari ikatan keduniawian.
Ia tetap mengabdi kepada masyarakat hanya tidak demikian melibatkan diri
sebagai pada waktu di tingkat grshasta. Memang kalau menurut istilah
“wanaprastha” berarti hidup mengasingkan diri di hutan, tetapi yang
dimaksudkan ialah untuk mendapatkan suasana jiwa yang tidak dipengaruhi oleh
gangguan keperluan hidup sehari-hari yang bersifat duniawi sehingga dapat
memberikan tuntunan secara bebas kepada mereka yang sedang aktif dalam
tingkat grehastha.
Dengan mengandaikan
bahwa akhir masa grehastha pada usia 60 tahun maka dapat ditentukan bahwa
awal masa wanaprastha adalah pada usia 60 tahun. Mengingat tingkat kematangan
dan kedewasaan manusia dalam ajaran kesucian tidak dapat ditentukan secara
gradual maka kapan berakhirnya masa wanaprastha, juga tidak dapat ditentukan
dengan pasti. Di samping itu ajaran kesucian berkaitan erat, baik dengan
etika-moralitas maupun ajaran ketuhanan yang merupakan ajaran tanpa batas
maka akhir masa wanaprastha, juga tidak dapat ditentukan. Ini juga berarti bahwa
awal dan akhir masa sanyasin atau bhiksuka tidak dapat ditentukan, karena itu
maka mengenai batasan usia pada masa ini tidak dibahas dalam kajian ini. Oleh
karena itu pada masa ini sudah diperlukan ilmu-ilmu gelar pati dan atau apara
vidya. Dalam hal ini dharma dimaknai sebagai kebenaran.
4)
Bhiksuka
Bhiksuka (sannyasin) menurut Sudharta
(2001:49) ialah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduaniawian dan
hanya mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi dengan jalan menyebarkan
ajaran-ajaran kesucian. Arti kata “bhiksuka” ialah peminta-peminta, tetapi
yang dimaksud ialah bahwa ia tidak boleh mempunyai apa-apa dalam
pengabdiannya pada Sang Hyang Widhi dan untuk makanannyapun ditanggung oleh
murid-murid atau pengikutnya atau umat sendiri. Selanjutnya, kata “sannyasin”
artinya meniggalkan keduniawian dan hanya mengabdi kepada Sang Hyang Widhi
dengan memperluas ajaran-ajaran kesucian (nisparigraha). Berdasarkan
pengertian tersebut maka pada masa tahapan ini yang diperlukan hanya
ilmu-ilmu tentang gelar pati dan atau apara vidya, brahmavidya. Oleh karena
itu dapat ditawarkan rumusan isi kurikulum pendidikan sebagai standar
kopetensi pada masa bhiksuka sebagai berikut.
2.1 Implementasi Ajaran Catur Asrama
Dalam Pendidikan Jaman Sekarang
Hubungan tata kemasyarakatan Hindu dibagi menjadi empat
tingkat kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat
lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup. Tiap-
tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya ciri- ciri tugas
kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya, tetapi
merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai contoh adanya perbedaan
sifat tugas dan kewajiban seorang bapak dengan ibu dengan anak- anaknya.
Menurut agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem Catur Asrama, ialah sebagai berikut:
III.
Penutup
Sebagai pedoman
tatanan hidup masyarakat Hindu, Catur Asrama memegang peranan sangat penting
yaitu mengatur segala tingkah laku dari keempat jenjang kehidupan dan
menunjukkan tugas serta kewajiban yang harus dilaksanakan dalam masing-masing
jenjang atau tingkat kehidupan umat manusia. Dan apabila manusia tersebut
dapat menjalankan keempat masa itu dengan baik maka akan mewujudkan
keharmonisan antar umat manusia, kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman hidup
serta tujuan terakhir dari pada umat Hindu yaitu moksa akan tercapai atas
asungkertawaranugraha Ida Sang hyang Widhi Wasa. Implementasi ajaran catura
asrama dalam pendidikan jaman sekarang tidak relevan atau tidak monetun
karena pendidikan tidak memandang usia untuk mencari ilmu pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Gandhi, M.K., 1981,
Kehidupan Ashram: dari hari ke hari, Yaysan Bali Santi Sena.
Kasturi. N. 1981. Sathyam Siwam Sundaram. Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
Pidarta, Made.
2000. Hindu Untuk Masyarakat Umum,
Surabaya: Paramita Surabaya
Panitya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam masa Pembangunan. Jakarta: Yayasan Merta Sari. O’nil, 2003, Ideologi-ideologi Pendidikan, Jakarta: Gramedia. Sudharta, Tjok Rai, Ida Bagus Oka Punia Atmaja. 2001. Upadesa tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Takwin, Bagus, 2003, Filsafat Timur Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta :Jalasutra. |
||