Filosofis
:
Barong Landung adalah
pralingga, sekaligus perisai bagi desa-desa yang terancam kegeringan. Bahkan di
banyak tempat, Barong Landung dipuja sebagai simbol sejarah yang sangat kelam
di masa lalu. Kisah yang bersumber ketika Sri Jaya Pangus, raja Bali dari dinasti
Warmadewa, kerajaannya berpusat di Panarojan -- tiga kilometer di sebelah utara
Kintamani. Sri Jaya Pangus dituduh telah melanggar adat yang sangat ditabukan
saat itu, yakni telah dengan berani mengawini putri Cina yang elok bernama Kang
Cing Wei. Meski tidak mendapatkan berkat dari pendeta kerajaan, Mpu Siwa Gama,
sang raja tetap ngotot tidak mau mundur. Akibatnya, sang pendeta marah, lalu
menciptakan hujan terus menerus, hingga seluruh kerajaan tenggelam. Dengan berat hati sang raja
memindahkan kerajaannya ke tempat lain, kini dikenal dengan nama Balingkang
(Bali + Kang), dan raja kemudian dijuluki oleh rakyatnya sebagai Dalem
Balingkang. Sayang, karena lama mereka tidak mempunyai keturunan, raja pun
pergi ke Gunung Batur, memohon kepada dewa di sana agar dianugerahi anak. Namun
celakanya, dalam perjalanannya ia bertemu dengan Dewi Danu yang jelita. Ia pun
terpikat, kawin, dan melahirkan seorang anak lelaki yang sangat kesohor hingga
kini, Maya Danawa.
Sementara itu, Kang Cing Wei yang lama
menunggu suaminya pulang, mulai gelisah, Ia bertekad menyusul ke Gunung Batur.
Namun di sana, di tengah hutan belantara yang menawan, iapun terkejut manakala
menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Ketiganya lalu terlibat
pertengkaran sengit.
Dewi Danu dengan marah berapi-api
menuduh sang raja telah membohongi dirinya dengan mengaku sebelumnya sebagai
perjaka. Dengan kekuatan gaibnya, Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei
dilenyapkan dari muka bumi ini. Oleh rakyat yang mencintainya, kedua suami
istri -- Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei -- itu lalu dibuatkan patung yang
dikenal dengan nama Stasura dan Bhati Mandul. Patung inilah kemudian berkembang
menjadi Barong Landung.
Latar
belakang :
Pada pemerintahan Dalem
Waturenggong, abad ke-16, seni dan budaya Bali telah mencapai puncaknya. Kala
itu telah diciptakannya relief Boma, yang kemudian menjadi tapel Barong Ket. Di
samping itu pula terdapat tulisan Banaspati dan Calonarang, keduanya menunjuk
pada pengertian Barong. Mungkinkah Barong Landung juga diciptakan pada masa
ini?
Yang pasti, kemampuan manusia Bali dalam
membuat simbol-simbol sudah ada sejak zaman dulu, seperti simbol bade, meru,
pratima, rerajahan, warna-warna sakral, banten, sikap tubuh dalam gambar
wayang, dan sebagainya. Dalam proses berkarya, biasanya untuk mengagumkan
sesuatu, mereka -- terutama para undagi, kreator, atau senimannya -- sering
mewujudkan pujaannya itu jauh lebih besar dari dirinya. Ini semata-mata untuk
menunjukkan betapa besar kekuasaan Tuhan, dan betapa kecil dirinya. Dalam
Barong Landung ini misalnya, undagi sengaja membuat wujud yang sangat
menyeramkan dengan harapan dapat mengimbangi kedahsyatan roh-roh jahat yang
sering mengganggu kehidupan di desa-desa.
Menurut Pan Putu Budhiartini dalam
bukunya "Rangda dan Barong, Unsur Dualistik, Mengungkap Asal-asal Umat
Manusia", Barong berasal dari Tatwa Kanda Pat Bhuta, tepatnya ada adalah
duwe dari Sang Catur Sanak yang mengambil wujud rwa bineda -- dua sifat yang
berbeda dari laki-perempuan, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya. Yang
cair misalnya, kalau dipanaskan oleh api akan menguap ke langit (I Bapa),
sedangkan api akan mengendap ke bumi (I Meme). Langit sendiri akan menurunkan
hujan untuk menyuburkan bumi dan melahirkan kehidupan.
Jadi, dengan begitu, kemungkinan Barong
Landung adalah perwujudan I Bapa dan I Meme. I Bapa sebagai langit diwujudkan
dengan warna hitam (Jro Gde), simbol dari Dewa Wisnu yang memelihara dunia, sekaligus
Dewa Air yang menghanyutkan segala noda dunia, dan menjadi tirta penglukatan
bagi umat manusia. Sedangkan I Meme atau Ibu Bumi (Jro Luh) berwarna putih
sebagai Iswara yang sering juga disebut Siwa, maha pelebur segala noda
sekaligus sebagai tempat penciptaan. Jadi, Jro Luh adalah Ibu Bumi yang
mengandung, memelihara, dan akan mengembalikan lagi isi dunia ke dalam perutNya
ketika waktunya telah tiba.
Barong Landung, jika disimpulkan, adalah
perwujudan dari sang Maha Pencipta itu sendiri, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang
oleh undagi di masa lalu tentu diwujudkan sesuai dengan keadaan zamannya ketika
itu, yakni ketika sedang hangat-hangatnya perkawinan antarbudaya Cina dan Bali,
termasuk di dalamnya "perkawinan celaka" sang raja dengan putri Cina
itu.
Namun, apapun latar belakangnya, Barong
Landung adalah mahakarya yang pernah diciptakan oleh para leluhur di Bali. Ia
adalah lambang penciptaan (lingga dan yoni) yang oleh ilmuwan Thomas Alfa
Edison disebut sebagai unsur positif dan negatif. Diyakini, jika kedua unsur
ini bertemu, maka akan menimbulkan energi listrik. Hebatnya, konsep lingga-yoni
tercipta jauh sebelum Thomas Alfa Edison lahir.
Bentuknya
:
Dipandang dari segi wujud, Barong Landung berbeda dengan
barong-barong lainnya di Bali. Dia berbentuk boneka besar, laki-laki dan
perempuan, serta masing-masing diusung oleh seorang penari. Barong Landung
laki-laki disebut Jero Gede dan wujudnya sangat menakutkan. Topengnya berwarna
coklat kehitam-hitaman, giginya menonjol, Wataknya menggambarkan tipe ideal
orang Bali masa lampau. Barong Landung Wanita diberi nama Jero Luh yang
ekspresinya agak lucu, dahinya menonjol, matanya sipit, senyumnya manis, dan warna
topengnya putih kekuning-kuningan, menyerupai kulit orang Cina. Penggambaran
manusia ke dalambentuktopengsudahtua umurnya. Pelukisan-pelukisan itu semula
hanya sebagai representasi dininya sendiri dengan pengalaman-pengalaman
hidupnya. Namun, dalam perkembangan kemudian penggambaran manusia seperti itu
dikaitkan dengan personifikasi kekuatan di luar dirinya sendiri dalam bentuk
yang disebut antropomorpik. Ada pula penggambaran dial manusia
yagdikaitkandengankekuatan yang maha dasyat, diwujudkan dalam bentuk perpaduan
antara manusia dan binatang yang disebut termantropik Topeng-topeng Bali,
termasuk Barong Landung tidak hanya menggambarkan potret manusia biasa, tetapi
diri lebih menggambarkan watak manusia yang terkait dengan kekuatan dewa dewi
yang dianggap dapat melindungi kehidupannya.
Fungsi
:
Fungsi Barong Landung
sampai sekarang adalah upacara penolak bala. Biasanya apabila di masyarakat
terjadi suatu serangan wabah penyakit, maka dengan didahului proses permohonan
spiritual oleh masyarakat kepada Ida Bhatara Dalem Sakti (Jero Gede) dan Jero
Luh supaya berkenan turun ke dalam lambang berbentuk Barong Landung untuk
mengusir para roh jahat yang mengganggu masyarakat desa. Setelah dilaksanakan
permohonan maka Barong Landung diarak keliling kampung dan menari di depan
setiap pintu gerbang pekarangan rumah (lawangan) yang satu ke lawangan
rumah yang lain. Karena itulah maka prosesi ini disebut dengan Ngelawang,
biasanya dilakukan cukup lama, sampai beberapa hari untuk dapat memenuhi
seluruh permohonan seluruh warga desa (mencapai seluruh lawangan rumah
penduduk desa). Pada waktu menari di depan lawangan setiap penduduk,
masyarakat pemilik lawangan menghaturkan sesajen canangsari (penguntap/permohonan)
berisi dua biji uang kepeng dan segehan (upah kepada pengiring niskala-nya),
dipersembahkan sebagai permohonan anugerah kesembuhan, keselamatan, kedamaian (nunas
tamba), dibimbing pemangku Barong Landung. Sebaliknya masyarakat
bersangkutan mendapat air suci (tamba atau obat) dari Jero Gede dan Jero
Luh untuk diperciki pada setiap anggota keluarga, bangunan, binatang peliharaan
dan pekarangan, agar terhindar dari wabah penyakit. Penggunaan uang kepeng pada
sesajen, sekarang oleh kebanyakan warga masyarakat sering dikelirukan maknanya,
sehingga diganti dengan uang rupiah saja, yang seolah artinya membeli air suci.
Padahal, pemakaian uang kepeng harus tetap sebagai sesari dari syarat canangsari
(bentuk sesajen paling sederhana), walaupun berisi uang rupiah yang
nilainya jauh lebih besar.
Pada beberapa tempat
atau kasus, nunas tamba tidak hanya dilakukan pada saat prosesi ngelawang,
enam bulan sekali (dalam hitungan kalender Bali, satu bulan 35 hari), tetapi
juga dapat dilakukan setiap hari atau pada hari-hari yang telah ditentukan,
bertempat di pura tempat Barong Landung distanakan. Pada umumnya sarana upakara
(sesajen) yang dipakai atau dibawa adalah lebih lengkap dari pada waktu
Barong Landung ngelawang, yaitu banten pejati ditambah canang
sari dan segehan serta sarana lain yang diperlukan untuk membuat tamba
(biasanya bungkak kelapa hijau atau gading/kuning dan tiga pucuk
daun dapdap/taru sakti) atau cukup canang sari saja bila
keadaan tidak memungkinkan, mendesak, insidental. Perlu diketahui bahwa, tidak
semua Barong Landung di semua tempat melakukan nambanin (mengobati)
setiap hari. Tergantung kehendak yang di atas sana, Ida Bhatara Sesuhunan (Beliau
yang dipuja sebagai pemberi perlindungan), sesuai dengan wangsit yang diterima
oleh orang yang menjadi juru sapuh (pemangku) Barong Landung di
tempat tersebut.
Makna :
Barong
landung secara simbolik adalah salah satu manifestasi dari Tuhan Yang
Mahaesa. Disebutkan oleh Sudarsana (2000: 23-26), sesungguhnya Ida Sang Hyang
Widhi adalah tunggal (Ekam Evam Adwityam Brahman), tetapi Beliau
memiliki kemahakuasaan untuk memanifestasikan diri melalui kekuatan mayanya
menjadi banyak aspek perwujudan. Berbagai manifestasi kekuatan maya Beliau
adalah kekuatan Dewa-Dewi, Bathara-Bathari, Bhuta, Kala, Durga, Danawa,
Paesaca, termasuk alam semesta 15 serta isinya. Sifat-sifat Ida Sang Hyang
Widhi adalah sesuai akar katanya “widh” yang artinya widya (maha
mengetahui) disamping juga maha agung, maha besar, maha suci, maha
tenang/tentram, dan maha sempurna. Karena kemahasempurnaan-Nya, maka Beliau
memiliki sebutan “Parama Siwa”. Beliau seutuhnya Purusa merupakan
kesadaran tertinggi yang ada di mana-mana, tanpa aktifitas, belum kena pengaruh
maya, dengan demikian Beliau bergelar Nirguna Brahman (Tuhan yang tidak
tersentuh guna/fungsi).
Kemudian
Sang Hyang Widhi mulai bermanifestasi, menjadikan dirinya sendiri,
berarti Beliau mulai dipengaruhi oleh kekuatan maya-Nya yang sepenuhnya
bersifat “Guna” (fungsi belaka) sehingga kesadaran aslinya yang suci murni
berkurang. Pada keadaan ini muncul kemahakuasaan serba guna-Nya seperti maha
pendengar, maha melihat, maha mengetahui. Beliau telah akif dan berkhasiat,
memiliki sifa pengampun, memberi sinar penerangan, berinfiltrasi dari tiada
berwujud menjadi wujud objek pemujaan dari semua makhluk, sebagai pencipta,
pemelihara dan pelebur hasil ciptaan-Nya, sehigga Beliau bergelar Sada Siwa.
Melihat kemahakuasaanNya yang memiliki sifat serba guna maka Beliau memiliki
sebutan Saguna Brahmani (Tuhan yang telah tersentuh guna/fungsi).
Sang Hyang
Sadasiwa bermanifestasi lagi dengan swabhawa (sinar
suci) Nya yaitu Sang Hyang Anerawang, wujud kemahakuasaan hanya berupa
getaran-getaran halus. Sang Hyang Anerawang kemudian bermanifestasi lagi
dengan swabhawaNya Sang Hyang Taya, wujud kemahakuasaan berupa
bayangan yang samar-samar. Sang Hyang Taya kemudian bermanifestasi
dengan swabhawaNya Sang Hyang Ruci, wujud kemahakuasaan sudah
berupa wujud tetapi belum jelas. Selanjutnya Sang Hyang Ruci bermanifestasi
dengan swabhawaNya Sang Hyang Adi Suksma, wujud kemahakuasaan berupa
embun yang gemerlapan. Sang Hyang Adi Suksma bermanifestasi lagi dengan swabhawaNya
Sang Hyang Siwa. Pada keadaan ini pengaruh mayaNya sudah makin besar,
sehigga Beliau memiliki guna (fungsi) yang telah sempurna, dan kemahakuasaanNya
berupa Sakti dengan kekuatan Cadu Sakti. Beliau menjadi maha
kerja, berinfiltrasi ke alam semesta ciptaanNya dan bersemayam pada semua
makhluk. Dengan demikian Beliau memiliki sebutan Kriya Guna Brahman (Tuhan
dengan fungsi karya).
Kemudian
Sang Hyang Siwa berinfiltrasi lagi dengan swabhawaNya Sang
Hyang Rwa Bhineda, yaitu menjadi kekuatan purusa (kejiwaan/positip)
dengan sebutan Sang Hyang Macongol, dan menjadi kekuatan prakerti (kebendaan/negatip)
dengan sebutan Sang Hyang Mecaling. Kedua kekuatan Beliau ini kemudian
kembali menyatu menjadi suatu kekuatan sangat dahsyat, yaitu terjadinya pijaran
api yang amat besar, yang akhirnya berubah menjadi gumpalan api yang maha
besar, memiliki gaya dan daya putaran (mudra) yang disebut Brahmanda (telur
Tuhan/Brahman). Pada saat terjadinya manifestasi ini disebut masa
penciptaan dengan swabhawa Beliau disebut Sang Hyang Tunggal.
Karena perputaran Brahmanda tersebut maha dahsyat maka terlemparlah
keluar percikan-percikan api yang memiliki daya putar dahsyat juga disebut Mahatresu-Mahatresu
(planet-planet termasuk salah satunya Bumi ini). Keseimbangan dan
perputaran bumi di atas oleh kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi dengan
swabhawaNya Sang Hyang Eka Bumi. Sang Hyang Eka Bumi kemudian
bermanifestasi lagi dengan swabhawa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara),
dengan kemahakuasaanNya sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur serta memberi
kekuatan kepada Tri Loka (tanah, udara, dan angkasa).
Berdasarkan
atribut-atribut dalam perwujudan fisik dari Barong Landung, Kardji (1993: 64)
dalam kasus penelitiannya mengemukakan makna simbolik sebagai berikut. Jero
Gede dengan warna hitam simbol Wisnu, sedangkan Jero Luh yang berwarna putih
adalah simbol Iswara, serta Cupak berwarna merah adalah simbol Brahma. Tafsiran
simbol-simbol ini ditarik dari pengetahuan akan adanya Pengider-ider (Pengider
Bhuwana). Pengider-ider yaitu simbol-simbol tentang kekuasaan atas empat
penjuru mata angin yang disebut Catur Desa: utara dengan simbol warna hitam
dikuasai Dewa Wisnu; selatan dengan simbol warna merah dikuasai oleh Dewa
Brahma; timur dengan simbol warna putih dikuasai oleh Dewa Iswara; dan barat
dengan simbol warna kuning dikuasai oleh Dewa Mahadewa. Penggunaan unsur tokoh
Cupak sebagai simbol Brahma diduga di dasarkan pada cerita Cupak-Gerantang.
Dalam cerita ini disebutkan Cupak adalah putra Betara Brahma dan Gerantang
adalah putra Betara Wisnu.
Makna
simbolis dalam barong landung lainnya disarikan dan dimodifikasi dari hasil
penelitian Gadung (2008: 152-155), sebagai berikut.
1. Rambut
Jero Gede terurai panjang adalah sebagai simbol bahwa dalam kehidupan ini tidak
luput dari kekusaman atau kekeringan atau kepanasan (masalah). Sedangkan rambut
Jero Luh yang disanggul melambangkan suasana hati yang sejuk, atau mampu
menyejukkan udara yang panas. Pada intinya, makna keberadaan Barong Landung
diharapkan dapat menjaga dunia semesta isinya, agar selalu berada dalam
keseimbangan dan terhindar dari berbagai marabahaya.
2. Mata
Jero Gede yang melotot, simbol maha melihat atau mengetahui, dapat memantau
baik-buruk, benar-salah prilaku ciptaanNya di Bumi. Jero Luh bermata sipit
dengan jidat menonjol (jantuk), simbol ketenangan dalam memikirkan apa yang
harus dilakukan kala ada masalah yang menimpa ciptaanNya di Bumi. Inti nilai
yang dikandungnya, manusia harus bisa membedakan antara yang baik dan buruk,
antara yang benar dan yang salah, sehigga mampu menghadapi masalah dengan
tenang dan menempatkan kebenaran, kebajikan di atas segala kebatilan,
kesalahan.
3. Mulut
Jero Gede yang lebar dengan gigi tongos dan bertaring adalah simbol kemurkaan
dan kegeraman dan kemahakuasaan. Sedangkan Jero Luh tersenyum simpul, simbol
kelembutan dan kehalusan budi atau hati. Makna semuanya adalah segala masalah
dalam kehidupan ini tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan, melainkan harus
dengan kepala dingin dan kelembutan budi atau hati untuk tercapainya mufakat.
Setiap kekerasan harus dilawan dengan kelembutan dan ketabahan (bukan dengan
kekerasan) demi tercapainya ketenangan dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Warna
kulit Jero Gede hitam dan Jero Luh putih adalah simbol rwa bhineda yaitu
dua unsur yang selalu bertentangan tetapi harus tetap berpasangan (binnary
oppotition), yang akan melahirkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Makna simbolisnya, masyarakat harus mampu menerima adanya sifat dualistis
tersebut secara bijaksana, menerima perbedaan sebagai sebuah dinamika yang
memang dibutuhkan dalam memacu gerak maju kehidupan ini.
5.
Badan barong landung tinggi besar dengan salah satu
tangan bertolak pinggang (matungked bangkiang), adalah simbol
kegagah-beranian dalam menghadapi segala tantangan dan berbagai ancaman yang
ingin mengancam keselamatan dan kedamaian masyarakat. Makna intinya, masyarakat
harus teguh akan keyakinan.
dan
ketakwaannya kepada Ida Sang Hyang Widhi, yang akan selalu siap mengayomi,
menyelamatkan masyarakat dan siap menghadapi dan menghan-curkan kekuatan jahat
yang ingin mengganggu manusia.
6. Pakaian
barong landung, berbaju dengan lengan panjang, dan kain (wastra) serta selimut
bawah (kampuh/saput) adalah simbol kematangan jiwa. Maknanya, sebelum berbuat
masyarakat harus memikirkan dulu secara matang segala sesuatunya, agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat merusak citra dan martabat
kemanusiaan.
7. Gerak
barong landung yang terbatas, hanya mengayunkan sebelah tangan saja, hanya
menggelengkan kepala dan menggoyangkan badan saja adalah simbol keterbatasan
yang ada pada setiap diri manusia. Maknanya, setiap orang harus sadar sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keterbatasan masing-masing, dan saling
membutuhkan satu sama lain. Sedangkan, gerakan keliling tempat suci dan upakara
caru (kurban) sebanyak 3X yang sering dilakukan barong landung adalah
simbol selalu awas dan selalu mengusir roh-roh jahat yang mengganggu lingkungan
manusia. Hal ini menegaskan kembali fungsi barong landung sebagai makhluk
mitologi penolak bala yang bersifat sakral, yang diyakini memiliki kekuatan
gaib dalam melindungi pemujanya dari serangan roh-roh jahat.
8. Iringan
musik barong landung adalah geguntangan, yang memiliki irama merdu dan
lirih, selaras dengan kebutuhan tembang-tembang melodrama dalam lakon barong
landung sehingga jelas tertengar oleh penikmatnya, melambangkan sentuhan
kelembutan yang mampu dipersembahkan. Maknanya, kelembutan suara dapat
memberikan sentuhan jiwa secara mendalam pada setiap orang.
9. Sesajen
barong landung, gamelan maupun kalangan (stage) adalah simbol sujud
bakti manusia terhadap kemahakuasaan Tuhan yang selalu membutuhkan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Beliau Yang Mahakuasa.
10. Kalangan
(stage) tempat pementasan barong landung terbuka dari segala arah,
biasanya orientasi menghadap tempat suci atau bangunan pemujaan, mangandung
makna bahwa apapun yang seseorang kerjakan harus ditentukan arah atau tujuan
pastinya, dan dalam mencapai tujuan tersebut harus selalu berorientasi disertai
doa kehadapan Tuhan Yang Mahakuasa.
Pendapat
lain adalah menurut Dharma Jiyo Tie/Wong Bin Eng/Surya Dharma (64 Tahun pada
tahun 2008) asal Kota Tabanan, barong landung laki-laki berwajah seram, kulit
hitam, tubuh tinggi besar, porem muka tua, disebut Ida Bhatara Dalem Sakti atau
Jero Gde Dalem Sakti. Wajah seram lambang kewibawaan; Kulit hitam lambang
Wisnu, Pemelihara, Pelindung; Tubuh tinggi besar lambang kekuasaan; Porem muka
tua lambang sangat dihormati (dituakan), lambang leluhur, dan yang paling
dituakan oleh umat manusia dan segala mahkluk adalah Tuhan Yang Mahaesa.
Barong
landung wanita berwajah manis, jidat dan kening sangat menonjol, mata sipit,
dagu panjang, kuping lebar, tubuh tinggi, porem muka tua, disebut Jero Luh atau
Ida Bhatara Ratu Ayu Subandar. Jidat dan kening menonjol (jantuk)
adalah simbol/lambang dari kecerdasan atau IQ tinggi; Dagu panjang lambang dari
budayanya tinggi; Kuping lebar lambang dari tanggap terhadap rakyat dan pintar;
Kulit putih lambang dari kebajikan dan kebijaksanaan. Porem muka tua lambang
sangat dihormati (dituakan) atau sumber asal dari semua mahkluk hidup.
Kedua
tokoh utama dalam cerita barong landung ini sudah menjadi mitologi yang keramat
di Bali, dan secara nyata dipuja sebagai Dewa/Bhatara oleh hampir
sebagian besar masyarakat Bali Tengah. Kedua tokoh yang dilukiskan berwarna
hitam dan berwarna putih adalah perlambangan dari kebijaksanaan, keadilan atau
kewenangan untuk menentukan atau menegakkan kebajikan yang dalam istilah
Balinya disebut nyelem-putihin (menentukan hitam dan putih atau
mahakuasa). Mengapa simbol-simbol terasa sangat serasi? Hal ini ada kaitannya
dengan persamaan konsep religi orang Bali ”Rwabineda” dan Cina ”Im-Yang”
yang juga memiliki kesamaan dalam tafsiran.
Barong
landung laki-laki tua merupakan simbol suci untuk memuja kebesaran raja Sri
Jaya Pangus yang bertahta di Kedatuan (istana) Panarajon, sekarang
termasuk wilayah Desa Pinggan (Sukawana), Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli. Barong landung wanita tua merupakan simbol dari permaisuri beliau, yang
memiliki keturunan ras Mongoloid (Tionghoa). Secara kebetulan pula pada zaman
pemerintahan raja suami istri ini terjadi suksesi penyatuan mazhab besar dalam
agama Hindu di Bali ke dalam paham Siwa-Budha. Simbol warna putih adalah
mewakili mazhab Siwa Siddhanta dan hitam adalah simbol mazhab Budha. Dalam Dasa
Awatara (sepuluh awatara) Wisnu yang dikenal agama Hindu salah satunya Budha
Awatara. Budha adalah salah satu aspek Wisnu dalam agama Hindu yang
disimbolkan dengan warna hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar