Sabtu, 11 Januari 2014

BARONG LANDUNG

OLEH : I KOMANG OKA ARDANA



Filosofis :
Barong Landung adalah pralingga, sekaligus perisai bagi desa-desa yang terancam kegeringan. Bahkan di banyak tempat, Barong Landung dipuja sebagai simbol sejarah yang sangat kelam di masa lalu. Kisah yang bersumber ketika Sri Jaya Pangus, raja Bali dari dinasti Warmadewa, kerajaannya berpusat di Panarojan -- tiga kilometer di sebelah utara Kintamani. Sri Jaya Pangus dituduh telah melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu, yakni telah dengan berani mengawini putri Cina yang elok bernama Kang Cing Wei. Meski tidak mendapatkan berkat dari pendeta kerajaan, Mpu Siwa Gama, sang raja tetap ngotot tidak mau mundur. Akibatnya, sang pendeta marah, lalu menciptakan hujan terus menerus, hingga seluruh kerajaan tenggelam. Dengan berat hati sang raja memindahkan kerajaannya ke tempat lain, kini dikenal dengan nama Balingkang (Bali + Kang), dan raja kemudian dijuluki oleh rakyatnya sebagai Dalem Balingkang. Sayang, karena lama mereka tidak mempunyai keturunan, raja pun pergi ke Gunung Batur, memohon kepada dewa di sana agar dianugerahi anak. Namun celakanya, dalam perjalanannya ia bertemu dengan Dewi Danu yang jelita. Ia pun terpikat, kawin, dan melahirkan seorang anak lelaki yang sangat kesohor hingga kini, Maya Danawa.
       Sementara itu, Kang Cing Wei yang lama menunggu suaminya pulang, mulai gelisah, Ia bertekad menyusul ke Gunung Batur. Namun di sana, di tengah hutan belantara yang menawan, iapun terkejut manakala menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit.
Dewi Danu dengan marah berapi-api menuduh sang raja telah membohongi dirinya dengan mengaku sebelumnya sebagai perjaka. Dengan kekuatan gaibnya, Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei dilenyapkan dari muka bumi ini. Oleh rakyat yang mencintainya, kedua suami istri -- Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei -- itu lalu dibuatkan patung yang dikenal dengan nama Stasura dan Bhati Mandul. Patung inilah kemudian berkembang menjadi Barong Landung.
Latar belakang :
Pada pemerintahan Dalem Waturenggong, abad ke-16, seni dan budaya Bali telah mencapai puncaknya. Kala itu telah diciptakannya relief Boma, yang kemudian menjadi tapel Barong Ket. Di samping itu pula terdapat tulisan Banaspati dan Calonarang, keduanya menunjuk pada pengertian Barong. Mungkinkah Barong Landung juga diciptakan pada masa ini?
Yang pasti, kemampuan manusia Bali dalam membuat simbol-simbol sudah ada sejak zaman dulu, seperti simbol bade, meru, pratima, rerajahan, warna-warna sakral, banten, sikap tubuh dalam gambar wayang, dan sebagainya. Dalam proses berkarya, biasanya untuk mengagumkan sesuatu, mereka -- terutama para undagi, kreator, atau senimannya -- sering mewujudkan pujaannya itu jauh lebih besar dari dirinya. Ini semata-mata untuk menunjukkan betapa besar kekuasaan Tuhan, dan betapa kecil dirinya. Dalam Barong Landung ini misalnya, undagi sengaja membuat wujud yang sangat menyeramkan dengan harapan dapat mengimbangi kedahsyatan roh-roh jahat yang sering mengganggu kehidupan di desa-desa.
Menurut Pan Putu Budhiartini dalam bukunya "Rangda dan Barong, Unsur Dualistik, Mengungkap Asal-asal Umat Manusia", Barong berasal dari Tatwa Kanda Pat Bhuta, tepatnya ada adalah duwe dari Sang Catur Sanak yang mengambil wujud rwa bineda -- dua sifat yang berbeda dari laki-perempuan, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya. Yang cair misalnya, kalau dipanaskan oleh api akan menguap ke langit (I Bapa), sedangkan api akan mengendap ke bumi (I Meme). Langit sendiri akan menurunkan hujan untuk menyuburkan bumi dan melahirkan kehidupan.
Jadi, dengan begitu, kemungkinan Barong Landung adalah perwujudan I Bapa dan I Meme. I Bapa sebagai langit diwujudkan dengan warna hitam (Jro Gde), simbol dari Dewa Wisnu yang memelihara dunia, sekaligus Dewa Air yang menghanyutkan segala noda dunia, dan menjadi tirta penglukatan bagi umat manusia. Sedangkan I Meme atau Ibu Bumi (Jro Luh) berwarna putih sebagai Iswara yang sering juga disebut Siwa, maha pelebur segala noda sekaligus sebagai tempat penciptaan. Jadi, Jro Luh adalah Ibu Bumi yang mengandung, memelihara, dan akan mengembalikan lagi isi dunia ke dalam perutNya ketika waktunya telah tiba.
         Barong Landung, jika disimpulkan, adalah perwujudan dari sang Maha Pencipta itu sendiri, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang oleh undagi di masa lalu tentu diwujudkan sesuai dengan keadaan zamannya ketika itu, yakni ketika sedang hangat-hangatnya perkawinan antarbudaya Cina dan Bali, termasuk di dalamnya "perkawinan celaka" sang raja dengan putri Cina itu.
Namun, apapun latar belakangnya, Barong Landung adalah mahakarya yang pernah diciptakan oleh para leluhur di Bali. Ia adalah lambang penciptaan (lingga dan yoni) yang oleh ilmuwan Thomas Alfa Edison disebut sebagai unsur positif dan negatif. Diyakini, jika kedua unsur ini bertemu, maka akan menimbulkan energi listrik. Hebatnya, konsep lingga-yoni tercipta jauh sebelum Thomas Alfa Edison lahir.
Bentuknya :
Dipandang dari segi wujud, Barong Landung berbeda dengan barong-barong lainnya di Bali. Dia berbentuk boneka besar, laki-laki dan perempuan, serta masing-masing diusung oleh seorang penari. Barong Landung laki-laki disebut Jero Gede dan wujudnya sangat menakutkan. Topengnya berwarna coklat kehitam-hitaman, giginya menonjol, Wataknya menggambarkan tipe ideal orang Bali masa lampau. Barong Landung Wanita diberi nama Jero Luh yang ekspresinya agak lucu, dahinya menonjol, matanya sipit, senyumnya manis, dan warna topengnya putih kekuning-kuningan, menyerupai kulit orang Cina. Penggambaran manusia ke dalambentuktopengsudahtua umurnya. Pelukisan-pelukisan itu semula hanya sebagai representasi dininya sendiri dengan pengalaman-pengalaman hidupnya. Namun, dalam perkembangan kemudian penggambaran manusia seperti itu dikaitkan dengan personifikasi kekuatan di luar dirinya sendiri dalam bentuk yang disebut antropomorpik. Ada pula penggambaran dial manusia yagdikaitkandengankekuatan yang maha dasyat, diwujudkan dalam bentuk perpaduan antara manusia dan binatang yang disebut termantropik Topeng-topeng Bali, termasuk Barong Landung tidak hanya menggambarkan potret manusia biasa, tetapi diri lebih menggambarkan watak manusia yang terkait dengan kekuatan dewa dewi yang dianggap dapat melindungi kehidupannya.
Fungsi :
Fungsi Barong Landung sampai sekarang adalah upacara penolak bala. Biasanya apabila di masyarakat terjadi suatu serangan wabah penyakit, maka dengan didahului proses permohonan spiritual oleh masyarakat kepada Ida Bhatara Dalem Sakti (Jero Gede) dan Jero Luh supaya berkenan turun ke dalam lambang berbentuk Barong Landung untuk mengusir para roh jahat yang mengganggu masyarakat desa. Setelah dilaksanakan permohonan maka Barong Landung diarak keliling kampung dan menari di depan setiap pintu gerbang pekarangan rumah (lawangan) yang satu ke lawangan rumah yang lain. Karena itulah maka prosesi ini disebut dengan Ngelawang, biasanya dilakukan cukup lama, sampai beberapa hari untuk dapat memenuhi seluruh permohonan seluruh warga desa (mencapai seluruh lawangan rumah penduduk desa). Pada waktu menari di depan lawangan setiap penduduk, masyarakat pemilik lawangan menghaturkan sesajen canangsari (penguntap/permohonan) berisi dua biji uang kepeng dan segehan (upah kepada pengiring niskala-nya), dipersembahkan sebagai permohonan anugerah kesembuhan, keselamatan, kedamaian (nunas tamba), dibimbing pemangku Barong Landung. Sebaliknya masyarakat bersangkutan mendapat air suci (tamba atau obat) dari Jero Gede dan Jero Luh untuk diperciki pada setiap anggota keluarga, bangunan, binatang peliharaan dan pekarangan, agar terhindar dari wabah penyakit. Penggunaan uang kepeng pada sesajen, sekarang oleh kebanyakan warga masyarakat sering dikelirukan maknanya, sehingga diganti dengan uang rupiah saja, yang seolah artinya membeli air suci. Padahal, pemakaian uang kepeng harus tetap sebagai sesari dari syarat canangsari (bentuk sesajen paling sederhana), walaupun berisi uang rupiah yang nilainya jauh lebih besar.
Pada beberapa tempat atau kasus, nunas tamba tidak hanya dilakukan pada saat prosesi ngelawang, enam bulan sekali (dalam hitungan kalender Bali, satu bulan 35 hari), tetapi juga dapat dilakukan setiap hari atau pada hari-hari yang telah ditentukan, bertempat di pura tempat Barong Landung distanakan. Pada umumnya sarana upakara (sesajen) yang dipakai atau dibawa adalah lebih lengkap dari pada waktu Barong Landung ngelawang, yaitu banten pejati ditambah canang sari dan segehan serta sarana lain yang diperlukan untuk membuat tamba (biasanya bungkak kelapa hijau atau gading/kuning dan tiga pucuk daun dapdap/taru sakti) atau cukup canang sari saja bila keadaan tidak memungkinkan, mendesak, insidental. Perlu diketahui bahwa, tidak semua Barong Landung di semua tempat melakukan nambanin (mengobati) setiap hari. Tergantung kehendak yang di atas sana, Ida Bhatara Sesuhunan (Beliau yang dipuja sebagai pemberi perlindungan), sesuai dengan wangsit yang diterima oleh orang yang menjadi juru sapuh (pemangku) Barong Landung di tempat tersebut.
Makna :
Barong landung secara simbolik adalah salah satu manifestasi dari Tuhan Yang Mahaesa. Disebutkan oleh Sudarsana (2000: 23-26), sesungguhnya Ida Sang Hyang Widhi adalah tunggal (Ekam Evam Adwityam Brahman), tetapi Beliau memiliki kemahakuasaan untuk memanifestasikan diri melalui kekuatan mayanya menjadi banyak aspek perwujudan. Berbagai manifestasi kekuatan maya Beliau adalah kekuatan Dewa-Dewi, Bathara-Bathari, Bhuta, Kala, Durga, Danawa, Paesaca, termasuk alam semesta 15 serta isinya. Sifat-sifat Ida Sang Hyang Widhi adalah sesuai akar katanya “widh” yang artinya widya (maha mengetahui) disamping juga maha agung, maha besar, maha suci, maha tenang/tentram, dan maha sempurna. Karena kemahasempurnaan-Nya, maka Beliau memiliki sebutan “Parama Siwa”. Beliau seutuhnya Purusa merupakan kesadaran tertinggi yang ada di mana-mana, tanpa aktifitas, belum kena pengaruh maya, dengan demikian Beliau bergelar Nirguna Brahman (Tuhan yang tidak tersentuh guna/fungsi).
Kemudian Sang Hyang Widhi mulai bermanifestasi, menjadikan dirinya sendiri, berarti Beliau mulai dipengaruhi oleh kekuatan maya-Nya yang sepenuhnya bersifat “Guna” (fungsi belaka) sehingga kesadaran aslinya yang suci murni berkurang. Pada keadaan ini muncul kemahakuasaan serba guna-Nya seperti maha pendengar, maha melihat, maha mengetahui. Beliau telah akif dan berkhasiat, memiliki sifa pengampun, memberi sinar penerangan, berinfiltrasi dari tiada berwujud menjadi wujud objek pemujaan dari semua makhluk, sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur hasil ciptaan-Nya, sehigga Beliau bergelar Sada Siwa. Melihat kemahakuasaanNya yang memiliki sifat serba guna maka Beliau memiliki sebutan Saguna Brahmani (Tuhan yang telah tersentuh guna/fungsi).    
            Sang Hyang Sadasiwa bermanifestasi lagi dengan swabhawa (sinar suci) Nya yaitu Sang Hyang Anerawang, wujud kemahakuasaan hanya berupa getaran-getaran halus. Sang Hyang Anerawang kemudian bermanifestasi lagi dengan swabhawaNya Sang Hyang Taya, wujud kemahakuasaan berupa bayangan yang samar-samar. Sang Hyang Taya kemudian bermanifestasi dengan swabhawaNya Sang Hyang Ruci, wujud kemahakuasaan sudah berupa wujud tetapi belum jelas. Selanjutnya Sang Hyang Ruci bermanifestasi dengan swabhawaNya Sang Hyang Adi Suksma, wujud kemahakuasaan berupa embun yang gemerlapan. Sang Hyang Adi Suksma bermanifestasi lagi dengan swabhawaNya Sang Hyang Siwa. Pada keadaan ini pengaruh mayaNya sudah makin besar, sehigga Beliau memiliki guna (fungsi) yang telah sempurna, dan kemahakuasaanNya berupa Sakti dengan kekuatan Cadu Sakti. Beliau menjadi maha kerja, berinfiltrasi ke alam semesta ciptaanNya dan bersemayam pada semua makhluk. Dengan demikian Beliau memiliki sebutan Kriya Guna Brahman (Tuhan dengan fungsi karya).
            Kemudian Sang Hyang Siwa berinfiltrasi lagi dengan swabhawaNya Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu menjadi kekuatan purusa (kejiwaan/positip) dengan sebutan Sang Hyang Macongol, dan menjadi kekuatan prakerti (kebendaan/negatip) dengan sebutan Sang Hyang Mecaling. Kedua kekuatan Beliau ini kemudian kembali menyatu menjadi suatu kekuatan sangat dahsyat, yaitu terjadinya pijaran api yang amat besar, yang akhirnya berubah menjadi gumpalan api yang maha besar, memiliki gaya dan daya putaran (mudra) yang disebut Brahmanda (telur Tuhan/Brahman). Pada saat terjadinya manifestasi ini disebut masa penciptaan dengan swabhawa Beliau disebut Sang Hyang Tunggal. Karena perputaran Brahmanda tersebut maha dahsyat maka terlemparlah keluar percikan-percikan api yang memiliki daya putar dahsyat juga disebut Mahatresu-Mahatresu (planet-planet termasuk salah satunya Bumi ini). Keseimbangan dan perputaran bumi di atas oleh kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi dengan swabhawaNya Sang Hyang Eka Bumi. Sang Hyang Eka Bumi kemudian bermanifestasi lagi dengan swabhawa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara), dengan kemahakuasaanNya sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur serta memberi kekuatan kepada Tri Loka (tanah, udara, dan angkasa).
            Berdasarkan atribut-atribut dalam perwujudan fisik dari Barong Landung, Kardji (1993: 64) dalam kasus penelitiannya mengemukakan makna simbolik sebagai berikut. Jero Gede dengan warna hitam simbol Wisnu, sedangkan Jero Luh yang berwarna putih adalah simbol Iswara, serta Cupak berwarna merah adalah simbol Brahma. Tafsiran simbol-simbol ini ditarik dari pengetahuan akan adanya Pengider-ider (Pengider Bhuwana). Pengider-ider yaitu simbol-simbol tentang kekuasaan atas empat penjuru mata angin yang disebut Catur Desa: utara dengan simbol warna hitam dikuasai Dewa Wisnu; selatan dengan simbol warna merah dikuasai oleh Dewa Brahma; timur dengan simbol warna putih dikuasai oleh Dewa Iswara; dan barat dengan simbol warna kuning dikuasai oleh Dewa Mahadewa. Penggunaan unsur tokoh Cupak sebagai simbol Brahma diduga di dasarkan pada cerita Cupak-Gerantang. Dalam cerita ini disebutkan Cupak adalah putra Betara Brahma dan Gerantang adalah putra Betara Wisnu.
            Makna simbolis dalam barong landung lainnya disarikan dan dimodifikasi dari hasil penelitian Gadung (2008: 152-155), sebagai berikut.
1.      Rambut Jero Gede terurai panjang adalah sebagai simbol bahwa dalam kehidupan ini tidak luput dari kekusaman atau kekeringan atau kepanasan (masalah). Sedangkan rambut Jero Luh yang disanggul melambangkan suasana hati yang sejuk, atau mampu menyejukkan udara yang panas. Pada intinya, makna keberadaan Barong Landung diharapkan dapat menjaga dunia semesta isinya, agar selalu berada dalam keseimbangan dan terhindar dari berbagai marabahaya.
2.      Mata Jero Gede yang melotot, simbol maha melihat atau mengetahui, dapat memantau baik-buruk, benar-salah prilaku ciptaanNya di Bumi. Jero Luh bermata sipit dengan jidat menonjol (jantuk), simbol ketenangan dalam memikirkan apa yang harus dilakukan kala ada masalah yang menimpa ciptaanNya di Bumi. Inti nilai yang dikandungnya, manusia harus bisa membedakan antara yang baik dan buruk, antara yang benar dan yang salah, sehigga mampu menghadapi masalah dengan tenang dan menempatkan kebenaran, kebajikan di atas segala kebatilan, kesalahan.
3.      Mulut Jero Gede yang lebar dengan gigi tongos dan bertaring adalah simbol kemurkaan dan kegeraman dan kemahakuasaan. Sedangkan Jero Luh tersenyum simpul, simbol kelembutan dan kehalusan budi atau hati. Makna semuanya adalah segala masalah dalam kehidupan ini tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan, melainkan harus dengan kepala dingin dan kelembutan budi atau hati untuk tercapainya mufakat. Setiap kekerasan harus dilawan dengan kelembutan dan ketabahan (bukan dengan kekerasan) demi tercapainya ketenangan dalam kehidupan bermasyarakat.
4.      Warna kulit Jero Gede hitam dan Jero Luh putih adalah simbol rwa bhineda yaitu dua unsur yang selalu bertentangan tetapi harus tetap berpasangan (binnary oppotition), yang akan melahirkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Makna simbolisnya, masyarakat harus mampu menerima adanya sifat dualistis tersebut secara bijaksana, menerima perbedaan sebagai sebuah dinamika yang memang dibutuhkan dalam memacu gerak maju kehidupan ini.
5.      Badan barong landung tinggi besar dengan salah satu tangan bertolak pinggang (matungked bangkiang), adalah simbol kegagah-beranian dalam menghadapi segala tantangan dan berbagai ancaman yang ingin mengancam keselamatan dan kedamaian masyarakat. Makna intinya, masyarakat harus teguh akan keyakinan.
dan ketakwaannya kepada Ida Sang Hyang Widhi, yang akan selalu siap mengayomi, menyelamatkan masyarakat dan siap menghadapi dan menghan-curkan kekuatan jahat yang ingin mengganggu manusia.
6.      Pakaian barong landung, berbaju dengan lengan panjang, dan kain (wastra) serta selimut bawah (kampuh/saput) adalah simbol kematangan jiwa. Maknanya, sebelum berbuat masyarakat harus memikirkan dulu secara matang segala sesuatunya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat merusak citra dan martabat kemanusiaan.
7.      Gerak barong landung yang terbatas, hanya mengayunkan sebelah tangan saja, hanya menggelengkan kepala dan menggoyangkan badan saja adalah simbol keterbatasan yang ada pada setiap diri manusia. Maknanya, setiap orang harus sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keterbatasan masing-masing, dan saling membutuhkan satu sama lain. Sedangkan, gerakan keliling tempat suci dan upakara caru (kurban) sebanyak 3X yang sering dilakukan barong landung adalah simbol selalu awas dan selalu mengusir roh-roh jahat yang mengganggu lingkungan manusia. Hal ini menegaskan kembali fungsi barong landung sebagai makhluk mitologi penolak bala yang bersifat sakral, yang diyakini memiliki kekuatan gaib dalam melindungi pemujanya dari serangan roh-roh jahat.
8.      Iringan musik barong landung adalah geguntangan, yang memiliki irama merdu dan lirih, selaras dengan kebutuhan tembang-tembang melodrama dalam lakon barong landung sehingga jelas tertengar oleh penikmatnya, melambangkan sentuhan kelembutan yang mampu dipersembahkan. Maknanya, kelembutan suara dapat memberikan sentuhan jiwa secara mendalam pada setiap orang.
9.      Sesajen barong landung, gamelan maupun kalangan (stage) adalah simbol sujud bakti manusia terhadap kemahakuasaan Tuhan yang selalu membutuhkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Beliau Yang Mahakuasa.
10.  Kalangan (stage) tempat pementasan barong landung terbuka dari segala arah, biasanya orientasi menghadap tempat suci atau bangunan pemujaan, mangandung makna bahwa apapun yang seseorang kerjakan harus ditentukan arah atau tujuan pastinya, dan dalam mencapai tujuan tersebut harus selalu berorientasi disertai doa kehadapan Tuhan Yang Mahakuasa.
Pendapat lain adalah menurut Dharma Jiyo Tie/Wong Bin Eng/Surya Dharma (64 Tahun pada tahun 2008) asal Kota Tabanan, barong landung laki-laki berwajah seram, kulit hitam, tubuh tinggi besar, porem muka tua, disebut Ida Bhatara Dalem Sakti atau Jero Gde Dalem Sakti. Wajah seram lambang kewibawaan; Kulit hitam lambang Wisnu, Pemelihara, Pelindung; Tubuh tinggi besar lambang kekuasaan; Porem muka tua lambang sangat dihormati (dituakan), lambang leluhur, dan yang paling dituakan oleh umat manusia dan segala mahkluk adalah Tuhan Yang Mahaesa.
Barong landung wanita berwajah manis, jidat dan kening sangat menonjol, mata sipit, dagu panjang, kuping lebar, tubuh tinggi, porem muka tua, disebut Jero Luh atau Ida Bhatara Ratu Ayu Subandar. Jidat dan kening menonjol (jantuk) adalah simbol/lambang dari kecerdasan atau IQ tinggi; Dagu panjang lambang dari budayanya tinggi; Kuping lebar lambang dari tanggap terhadap rakyat dan pintar; Kulit putih lambang dari kebajikan dan kebijaksanaan. Porem muka tua lambang sangat dihormati (dituakan) atau sumber asal dari semua mahkluk hidup.
Kedua tokoh utama dalam cerita barong landung ini sudah menjadi mitologi yang keramat di Bali, dan secara nyata dipuja sebagai Dewa/Bhatara oleh hampir sebagian besar masyarakat Bali Tengah. Kedua tokoh yang dilukiskan berwarna hitam dan berwarna putih adalah perlambangan dari kebijaksanaan, keadilan atau kewenangan untuk menentukan atau menegakkan kebajikan yang dalam istilah Balinya disebut nyelem-putihin (menentukan hitam dan putih atau mahakuasa). Mengapa simbol-simbol terasa sangat serasi? Hal ini ada kaitannya dengan persamaan konsep religi orang Bali ”Rwabineda” dan Cina ”Im-Yang” yang juga memiliki kesamaan dalam tafsiran.
Barong landung laki-laki tua merupakan simbol suci untuk memuja kebesaran raja Sri Jaya Pangus yang bertahta di Kedatuan (istana) Panarajon, sekarang termasuk wilayah Desa Pinggan (Sukawana), Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Barong landung wanita tua merupakan simbol dari permaisuri beliau, yang memiliki keturunan ras Mongoloid (Tionghoa). Secara kebetulan pula pada zaman pemerintahan raja suami istri ini terjadi suksesi penyatuan mazhab besar dalam agama Hindu di Bali ke dalam paham Siwa-Budha. Simbol warna putih adalah mewakili mazhab Siwa Siddhanta dan hitam adalah simbol mazhab Budha. Dalam Dasa Awatara (sepuluh awatara) Wisnu yang dikenal agama Hindu salah satunya Budha Awatara. Budha adalah salah satu aspek Wisnu dalam agama Hindu yang disimbolkan dengan warna hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar