1.
Cerita Sakuntala
Sakuntala (Sanskerta:
Shākuntalā) adalah nama permaisuri Raja Duswanta,
leluhur Pandawa
dan Korawa
dalam wiracarita
Mahabharata.
Ia merupakan Ibu dari Raja Bharata
yang menurunkan keluarga Bharata. Ia juga merupakan anak angkat Bagawan Kanwa.
Konon Ibu kandungnya adalah bidadari Menaka dari kahyangan.
Asal-usul
Riwayat
Sakuntala muncul sekilas dalam kitab Adiparwa.
Dikisahkan ada seorang pertapa bernama Wiswamitra,
dulu merupakan seorang Raja namun kemudian meninggalkan kehidupan istananya karena
ingin mendapatkan kejayaan seperti Bagawan Wasistha.
Tapanya sangat khusuk, tak tergoyahkan. Melihat hal tersebut, Dewa Indra mengutus bidadari
Menaka
agar menguji tapa Sang Wiswamitra. Bidadari Menaka terbang ke tempat Wiswamitra
bertapa, diiringi Dewa Bayu
dan Semara.
Ketika sampai di
tujuan, bidadari
Menaka
menjalankan tugasnya. Bidadari tersebut menggoda Sang Wiswamitra
sehingga nafsu birahinya muncul. Bidadari Menaka kemudian dihamili oleh Sang
Wiswamitra. Setelah merasa tugasnya telah diselesaikan dengan baik, bidadari
Menaka terbang kembali ke kahyangan sementara Sang Wiswamitra pergi meninggalkan tempat
pertapaannya karena gagal. Di tepi sungai Malini, Sang bidadari melahirkan bayi
perempuan. Bayi tersebut ditinggalkan seorang diri di sana sementara ibunya
terbang ke kahyangan
tanpa cinta kasih. Kemudian sang bayi dirawat oleh burung Sakuni.
Bagawan Kanwa yang sedang mencari
kembang di sekitar sungai Malini terkejut melihat seorang bayi tergeletak,
dirawat oleh burung Sakuni. Lalu bayi itu dipungut, diberkahi, dipelihara, dan
diberi nama Sakuntala karena dirawat oleh burung Sakuni.
Sakuntala dan Raja Duswanta
Pada suatu ketika, Prabu Duswanta pergi berburu sampai ke tengah hutan di kaki gunung Himawan. Setelah masuk jauh ke tengah hutan, ia menemukan lokasi pertapaan yang sangat indah, yang ternyata kediaman Bagawan Kanwa. Di sana ia disambut dengan ramah oleh puteri cantik jelita bernama Sakuntala. Melihat wajah sang puteri petapa yang sangat elok, timbulah keinginan Sang Raja untuk menikahinya. Sakuntala menolak, namun dirayu terus oleh Sang Raja. Akhirnya Sakuntala bersedia menikahi Sang Raja dengan syarat bahwa anak yang dilahirkannya harus menjadi pewaris tahta Sang Raja. Karena diselimuti rasa cinta, Sang Raja bersedia memenuhi permohonan tersebut. Kemudian Sang Raja bercinta dengan Sakuntala. Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan pertapaan karena terikat oleh kewajibannya sebagai seorang Raja. Ia pun pulang dan berjanji bahwa kelak ia akan kembali lagi ke pertapaan tersebut untuk menjemput Sakuntala beserta anaknya jika sudah lahir. Ketika Sakuntala termenung mengenang kepergian Sang Raja, Bagawan Kanwa pulang dari hutan sambil membawa bunga dan kayu bakar. Sakuntala hanya diam membisu. Karena kesaktiannya, Bagawan Kanwa mengetahui kejadian yang dialami Sakuntala meskipun Sakuntala bungkam. Bagawan Kanwa membesarkan hati Sakuntala dan memberinya kata-kata yang lembut. Nasihat Bagawan Kanwa menyejukkan hati Sakuntala.
Kelahiran Sang Bharata
Dari hasil
hubungannya dengan Raja Duswanta, lahirlah seorang putera rupawan, diberi nama Sarwadamana.
Tanda-tanda ia merupakan calon seorang penguasa dunia tampak dari gambar cakra di telapak
tangannya. Setelah anaknya lahir, Sakuntala dengan setia menunggu kedatangan
Raja Duswanta.
Namun Sang Raja tak kunjung datang. Hati Sakuntala menjadi semakin sedih
memikirkan masa depan anaknya yang tak kunjung dijemput sang ayah sebagai
pewaris kerajaan. Melihat hal tersebut, Bagawan Kanwa menyuruh Sakuntala
beserta anaknya agar pergi menghadap Sang Raja di ibukota.
Penolakan Sang Raja
Karena ingin agar anaknya menjadi Raja, Sakuntala rela pergi ke ibukota. Setelah sampai di ibukota, Sakuntala menghadap Sang Raja yang sedang bersidang di istana kerajaan. Di depan umum, Sakuntala menjelaskan maksud kedatangannya bahwa ia hendak menyerahkan puteranya, Sarwadamana, sebagai putera mahkota karena janji Sang Raja. Mendengar pengakuan tersebut, Raja Duswanta menolak kebenaran perkataan Sakuntala. Bahkan ia menolak telah menikah dan memiliki anak dari Sakuntala. Ia juga menghina dan mencela Sakuntala di muka umum. Sakuntala menangis karena dipermalukan. Bagaimana pun penjelasannya agar Sang Raja mau mengakui Sarwadamana sebagai putera, Sang Raja selalu mengelak.
Tiba-tiba terdengar suara dari langit yang membenarkan perkataan Sakuntala. Raja tak bisa mengelak lagi lalu ia menyongsong dan memeluk Sakuntala beserta anaknya. Kemudian ia menagis karena bahagia sambil berkata, "Duhai Sakuntala, sebenarnya aku sangat gembira akan kedatanganmu. Namun aku terhalang karena kedudukanku sebagai Raja. Apa kata dunia bila aku menikahimu yang tidak dikira sebagai istriku?
Kini kesangsian itu tak ada lagi, karena semuanya telah mendengar sabda dari langit yang membenarkan ucapanmu. Karena itu, engkau adalah istriku dan Sarwadamana adalah puteraku. Ia akan kuangkat sebagai Raja menggantikan kekuasaanku. Namanya kuganti menjadi Bharata karena berdasarkan sabda dari langit".
Setelah Raja Duswanta berkata demikian, ia menyerahkan tahta kepada Sarwadamana yang berganti nama menjadi Bharata. Kemudian Bharata menaklukkan daratan India Kuno (Bharatawarsha) dan menurunkan Kuru, yang menurunkan Wangsa Kaurawa (Korawa).
Kajian :
Dari
cerita tersebut dapat saya kaji bahwa janganlah seorang wanita mudah
mempercayai kata-kata lelaki, karena lelaki sangatlah mudah untuk mengumbar
janji. Maka dari itu, sebagai wanita hendaknya jagalah diri baik-baik agar
tidak terjerumus ke dalam hal yang tidak di inginkan. Karena ketika seorang
wanita telah kehilangan kehormatannya, maka kehormatannya akan hilang untuk
selamanya.
2.
Cerita
Jaratkaru
Ada seorang
brahmana yang bernama Jaratkaru, sebabnya oleh raja disebut Jaratkaru, jaratiksayam
ity ahuh, (karena) jarat berarti suka mengalah (kemunduran), karunikasya tad bhayam, suka berbelas
kasih, tempat berlindung bagi yang sedang dalam ketakutan, oleh karena itu
(dia) benar-benar luar biasa, seyogyanyalah (dia) disegani, karena sifatnya
yang suka mengalah. Teringatlah dia akan penjelmaan badan, karur iti smrtah,
karena itu namanya Jaratkaru, (yang mana) takut kepada kesengsaraan penjelmaan.
Ya ta warakulotpannah, dia adalah putera seorang Bikhu (pendeta) yang
mempunyai tapa yang luar biasa, seorang Bikhu yang gembira memungut padi yang
tersebar dan telah terbuang di jalan, yang dicari (dan) dibersihkannya.
Akhirnya menjadi banyaklah (padi yang dikumpulkannya itu), kemudian ditanaknya
(padi-padi itu), (yang mana) ketika itu disajikannya kepada Bhatara (dewa-dewa)
serta memberikannya kepada para tamu. Begitulah tapa orang tuanya, tahan akan
penderitaan, tidak bergaul dengan perempuan, hanya tapa yang dibesarkannya,
diajarinya, menderita membuat tapa. Ketika itu Maharaja Parikesit berburu, lalu
dikutuk oleh Bhagawan Sranggi dimakan oleh ular Taksaka. Oleh karena itulah
Jaratkaru membuat tapa. Setelah dia manjur mantranya, dia (dapat) pergi ke
segala alam, (dapat) mengunjungi ke segala tempat asing hendak dia datangi dan
(dapat) berjalan di atas air. Makin lama makin jauh perjalanannya, sampai dia
terbawa ke Ayatanasthana, yaitu suatu tempat yang mengantarai surga dan neraka,
tempatnya arwah menunggu (untuk) mendapatkan surga-neraka. Tempat itu
terkunjungi oleh Jaratkaru, dia berada di Ayatanasthana.
Ada satu arwah
yang digantung di sebatang bambu, yang digantung sungsang dan diikat kakinya.
Di bawahnya adalah jurang yang dalam yang menuju ke alam neraka. Jika bambu itu
patah, maka yang digantung itu akan menuju ke tempat itu (alam neraka). Ada
seekor tikus tinggal di lobang bambu yang dipinggir jurang itu. Setiap hari dia
menggigit bambu itu. Hal itu terlihat oleh Jaratkaru, sehingga mengalirlah air
matanya, maka dari itu berbelas kasihlah dia, hancur luluh hatinya kepada arwah
yang digantung terbalik di ujung bambu itu serta diikat kakinya. Jaratkaru
terpengaruh hatinya oleh arwah yang menyerupai seorang Bikhu yang berambut
terjalin serta berpakaian dari kulit pohon. Tidak sepantasnyalah dia menghadapi
kesengsaraan yang dideritanya. Dia menderita tidak makan seperti daun yang
tergantung, yang kekeringan karena kemarau, yang berayun-ayun oleh karena angin
deras, dia tidak makan selalu. Demikianlah keadaan arwah itu.
“Ke Bhawanto walambante
wiranastambam acritah”
Kata Jaratkaru:
"Siapakah tuanku yang digantung di sebatang bambu yang hampir patah oleh
gigitan tikus, yang hampir jatuh ke dalam jurang yang tidak diketahui dalamnya.
Keadaan yang demikian itu membuat sangat sedih hati hamba, sehingga hamba
menaruh belas kasih hendak menolong engkau. Hamba membuat tapa sejak masih
kanak-kanak serta menimbun beratnya tapa hamba, lalu sampai ke sini dan melihat
tuanku yang menderita, sehingga berbelas kasihlah hamba melihat kesengsaraanmu.
Seberapa besar pahala dari tapa hamba yang harus hamba berikan, supaya engkau
dapat pulang ke surga sehingga dapat berhenti menghadapi sengsara?
Seperempatkah atau setengahkah yang dapat aku berikan sesuai dengan jalanmu
untuk mendapatkan surga". Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh
arwah itu. Menjawablah dia dengan sangat dingin seperti disiram oleh air hidup
hatinya:
"Tapawrata
karma wayam. Hamba ditanya oleh tuanku, dan akan kuberitahukan semua
keadaanku, umarambam krtam karma santanam
preksayetrato, Itu semua terjadi karena akan putus keturunanku. Karena
itulah aku terputus dari Pitraloka (alam arwah para leluhur) dan
bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah hampir jatuh ke alam
neraka. Sebenarnya aku mempunyai satu keturunan. Namanya Jaratkaru. Tetapi dia
moksa juga, hendak meluputkan segala sesuatu yang membelenggu manusia, tidak
beristri, menjadi murid brahmana yang suci. Jika seandainya keturunanku
terputus, maka akibatnya adalah binasa. Semula aku senang terutama oleh pekerjaan
tapa yang istimewa. Tetapi hal yang demikianlah yang terjadi sekarang ini,
yaitu dengan tidak adanya keturunanku, tidak ada perbedaan antara aku dengan
orang yang melakukan perbuatan dosa, yang sama-sama menghadapi kesengsaraan.
Hal inilah yang dapat engkau lakukan jika engkau berbelas kasih "Bikhu itu
bernama Jaratkaru, minta belas kasihlah kepadanya. Suruh supaya dia beranak,
agar supaya aku dapat pulang ke Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku
menghadapi sengsara, agar supaya hatinya dapat berbelas kasih".
Dengan arwah
itu berbicara, maka semakin mengalir air mata Jaratkaru. Seperti diiris hatinya
melihat bapaknya menghadapi keadaan susah: "Hamba ini bernama Jaratkaru,
keturunanmu yang tamak akan tapa, yang mengingini kedudukan sebagai murid
brahmana. Aku kira sekarang ini engkau belum selesai, padahal telah sempurna
tapa yang telah dibuat. Adapun sekarang, mengenai jalanmu pulang ke surga,
janganlah tuanku khawatirkan. Biarlah hamba berhenti sebagai murid brahmana,
dengan mencari istri sehingga hamba dapat mendapatkan anak. Adapun yang hamba
kehendaki sebagai istri adalah yang senama dengan nama hamba, agar tidak ada
halangan bagi perkawinan hamba. Jikalau hamba telah mempunyai anak, biarlah
hamba dapat menjadi murid brahmana lagi. Tenangkanlah hati tuanku."
Demikianlah
kata Jaratkaru. Berjalanlah dia mencari istri yang senama dengan dirinya.
Ketika dia mengembara mencari istri, ketika itu maharaja Janamejaya baru beristrikan
Bhamustiman. Pada waktu itulah Jaratkaru mengembara. Telah sepuluh daerah (desa)
yang dijelajahinya, tetapi dia tidak mendapatkan istri yang senama dengannya.
Dia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya untuk memikirkan upaya agar
bapaknya keluar dari sengsara. Kemudian menyusuplah dia ke hutan yang sunyi,
menangis dan memanggil segala dewa, segala butha (makhluk raksasa), katanya:
“Yani bhutani santiha, janggamani sthirani ca” , hai semua butha,
para makhluk hidup yang menjadi penjelmaanmu, hamba bernama Jaratkaru, seorang
brahmana yang hendak beristri. Berilah hamba istri yang senama dengan hamba,
yaitu yang bernama Jaratkaru, supaya hamba mendapat anak, sehingga orang tuaku
dapat memperoleh surga.
Demikianlah
tangis Jaratkaru. Ketika keributan itu terjadi (tangis Jaratkaru) itu terdengar
oleh semua naga (ular) yang disuruh oleh Basuki untuk mencari seorang brahmana
yang bernama Jaratkaru supaya brahmana itu mempunyai anak dari adiknya yang
akan diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama Jaratkaru,
supaya anak yang dilahirkan itu akan membebaskan mereka (ular-ular tadi) dari
korban ular. Itulah maksud Basuki menyuruh ular-ular itu pergi mencari seorang
brahmana bernama Jaratkaru. Dan ketika terdengar oleh mereka tangis Jaratkaru,
gembiralah mereka dan memberitahukan kepada Basuki supaya mengundang Jaratkaru
dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya kepada Jaratkaru. Dibawa
pulanglah dia (Jaratkaru) oleh Basuki, dan dikawinkannyalah dia serta
dinikahkanlah dia dengan upacara yang telah semestinya. Selama dia (Jaratkaru)
duduk di tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya:
"Saya berjanji dengan
engkau, jika engkau mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi
melakukan perbuatan yang tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan
olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau". Demikianlah kata Jaratkaru kepada
istrinya. Hidup bersamalah mereka. Setelah beberapa lama mereka hidup bersama,
mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru. Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh
si suami. Maka dia meminta supaya ditunggui ketika tidur, ketika dia bermaksud
mau meninggalkan istrinya. Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh
istrinya, katanya:
“Pangkulah olehmu kepalaku waktu
tidur". Dengan hati-hati si istri memangku kepala si suami. Sangat lama
dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang. Teringatlah si naga perempuan
Jaratkaru, katanya:
"Sekarang adalah waktu
sorenya para dewa. Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia
dibangunkan. Jikalau menunggu sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah,
karena dia sangat takut kalau terlambat sembahyang karena itu bagi dia
merupakan tugas agama kepada para dewa." Lalu dibangunkanlah si suami.
"Hai tuanku Maha Brahmana,
bangunlah tuanku! Sekarang waktu telah senja tuanku, waktu untuk mengerjakan
tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-bauan dan padi."
Demikianlah
katanya sambil mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah Jaratkaru. Cahaya
kemarahan memancar pada matanya dan memerah mukanya karena marah besarnya.
Katanya:
"Cih! Engkau naga perempuan
yang sangat jahat, engkau sebagai istri menghinaku. Ayukto maryadah strinam, engkau sampai
hati mengganggu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai istri. Oleh
karena itu akan kutinggalkan engkau sekarang ini."
Demikianlah
sudah dia kemudian meninggalkan si istri. Ikutlah si naga perempuan, dan lari
memeluk si suami:
"Hai tuanku, maafkan hamba
tuanku! Bukan maksud hati menghina, jika hamba membangunkan tuanku. Hamba hanya
mengingatkan sembahyangmu tiap senja. Salahkah itu, sehingga aku menyembah
tuanku. Seyogyanyalah engkau kembali tuan yang terhormat. Jika hamba telah
beranak, di mana anak itu akan menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku,
maka tuanku dapat membuat tapa lagi."
Demikianlah kata
si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab: "Alangkah
pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk memuja dewa
ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk
meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau
kuatir. Asti, itulah nama anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari
korban ular. Tenangkanlah hatimu". Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak
dapat ditahan. Si naga perempuan memberitahukan kepada Basuki akan kepergian si
suami. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa
perutnya ada isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. Setelah
beberapa lama, lahirlah anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak
itu Astika, karena si bapak mengucapkan "asti".
Dipeliharalah
dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi
brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya Astika, maka
arwah yang menggantung di ujung bambu itu melesat pulang ke Pitraloka,
menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga
dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra,
mengikuti ajaran Bhrgu. Demikianlah cerita tentang Astika. Dia adalah orang
yang membuat naga Taksaka terhindar dari korban ular maharaja Janamejaya.
Kajian :
Dari cerita
tersebut dapat saya kaji bahwa sebagai manusia kita harus menjalankan catur
Asrama dengan baik yaitu pertama masa Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta dan
Samnyasin. Janganlah hanya berfokus hanya dengan apa yang ingin kita capai
saja, lakukanlah kewajiban kita sebagai anak yaitu memperoleh keturunan. Dengan
demikian maka perputaran siklus kehidupan akan seimbang, dimana seperti
dicerita di atas dengan memperoleh keturunan maka akan dapat menolong para
leluhur. Dan apabila dilihat ketika Jaratkaru marah saat sang istri
membangunkannya, itu sangat tidak baik. Seharusnya seorang brahmana harus mampu
mengendalikan kemarahannya, dan tidak sembarangan mengucapkan sebuah perkataan.
Ini berlaku pula kepada manusia zaman sekarang, yang dimana kita sebagai
manusia harus dapat memilah bagaimana perbuatan yang baik dan bagaimana
perbuatan yang tidak baik. Ketika kita sudah dapat melihat mana perbuatan yang
baik dan tidak baik, saat itulah kita dapat melakukan apa yang sepantasnya
dilakukan.
3. Mithologi Krisna, Arjuna dan Hanoman
sebagai Umbul-umbul
Umbul-umbul adalah salah satu
alat upacara yang dipergunakan di pura pada waktu piodalan atau upacara lainnya
di suatu pura. Tetapi umbul-umbul sudah menghiasi tempat-tempat pertunjukkan
kesenian uang nota bene tempat tersebut hanya sebagai tempat hiburan atau
kegiatan yang bersifat seremonial saja dan tidak ada kaitannya dengan kegiatan
upacara.
Seperti yang telah kita ketahui
bahwa mempunyai mithologi yang mengambil cerita Arjuna Pramada yaitu
diceritakan Prabhu Yudistira bermaksud membuat istana yang indah, maka
disuruhlah adik-adiknya mencari contoh istana yang bisa untuk ditiru. Dalam
persidangan, Arjuna menceritakan bahwa konon ada istana yang sangat indah yaitu
istana alengka tempat dewi Sita diculik oleh Rahwana. Dimana katanya matahari
selalu bersinar lembut dan angin yang datang bertiup sepoi-sepoi. Akhirnya
Yudistira mengutus Arjuna untuk pergi kesana dan Arjuna meminta bantuan Krisna
untuk mengantarnya. Setelah sampai di tepi pantai, menyebrang ke Alengka, maka
dilihatlah sebuah jembatan yang dahulu dibuat oleh bala bantuan tentara monyet
dari Sri Rama. Krisna dan Arjuna tertegun termenung dengan pikirannya
masing-masing setelah melihat jembatan itu. Sri Krisna terkenang dengan
penjelmaannya yang terdahulu pada waktu beliau berinkarnasi lahir sebagai Sri
Rama Dewa dan teringat serta rindu pada kesetiaan Hanoman. Kerinduan ini yang
menyebaban Hanoman yang sedang bertapa tertarik oleh kerinduan Sri Krisna dan
dengan seketika Hanoman datang meloncat kehadapan Sri Krisna. Di lain pihak
Arjuna berkata kepada Sri Krisna “Kanda, saya sepertinya tidak percaya dengan
kehebatan Hanoman, Sugriwa, Anila dank era yang lainnya, yang dikatakan begitu
sakti. Lalu mengapa membuat jembatan ini mengambil waktu berhari-hari ? Saya dengan
sekejap saja bisa membuatnya” kata Arjuna dan ini di dengar oleh Hanoman lalu
Hanoman berkata “Ya Arjuna, bala tentara Sang Rama sangatlah banyak, sebab itu
kami membuat jembatan yang kokoh” Arjuna menjawab “Ya saya bisa membuat
jembatan yag kokoh, barang siapa yang bisa mematahkan jembatan yang saya buat,
saya akan sembah”. Kalau begitu cobalah, kata Hanoman. Arjuna mengambil panah
Naganya dan begitu di lontarkan langsung menjadi jembatan yang kokoh dan
sejajar dengan jembatan sang Rama, kemudian Hanoman melompat keatas jembatan
itudan begitu melompat patahlah jembatan itu. Melihat kejadian ini, Sri Krisna
lalu melepaskan panahnya lagi sehingga jembatan itu kembali sebagaimana semula
dan Hanoman mencoba mematahkan lagi tetapi tidak bisa. Sadarlah Hanoman bahwa
yang di hadapinya adalah junjungannya, Sang Rama Dewa yang terlahir kembali
menjadi Sri Krisna lalu Hanoman mendekati Sri Krisna mau menyembahnya.
Sebaliknya, Arjuna mendekati Hanoman
untuk menyembahnya karena jembatan yang dibuat Arjuna telah di patahkan oleh
Hanoman, tetapi Hanoman menolak dengan mengatakan bahwa manusia tidak boleh
menyembah binatang karena dia masih berupa monyet. Arjuna bersikeras untuk
menyembahnya dengan mengatakan “Saya adalah ksatria Pandawa, saya tidak boleh
ingkar pada kata-kata saya”. Perdebatan ini diketahui oleh Sri Krisna dengan
menasehati Arjuna “Janganlah merasa diri sakti, bahwa tidak ada mahluk di dunia
ini yang sakti, hanya Tuhanlah yang maha sakti, sebab hanya beliaulah yang
patut disembah. Namun agar hutang sembah Arjuna itu dilunasi maka dikutuklah
jembatan yang dibuat Arjuna itu sebagai umbul-umbul, dengan pesan agar manusia
jangan takabur seperti Arjuna. Maka dimana pun ada parhyangan atau pelinggih
Dewa maka di mukanya dipancangkan umbul-umbul dan kober bergambar wanara.
Kajian:
Yang dapat saya kaji dari cerita
tersebut adalah bahwasanya kita sebagai manusia jangan pernah menyombongkan
diri kita lah yang paling hebat, kitalah yang paling pintar. Melainkan kita
juga harus menghargai kemampuan orang lain. Sebab yang maha sakti dan
segala-galanya adalah Tuhan dan tiada yang dapat menandingi kekuatannya. Dan
dengan di buatkannya umbul-umbul dalam setiap parhyangan maka dengan demikian
orang-orang akan selalu ingat pada peristiwa Arjuna dengan Hanoman dan dengan
menyembah di hadapan parhyangan, maka umbul-umbul dan bendera Hanoman ikut
disembah sebagai penebus janji bagi Arjuna yaitu menyembah Hanoman yang telah
mematahkan jembatan Arjuna. Dan untuk meyakinkan peristiwa itu maka umbul-umbul
dihiasi dengan gambar naga (panah) naga dari Arjuna dan gambar wanara yaitu
gambar Hanoman, dengan itu kita sadari bahwa mengapa kita menyucikan umbul-umbul
yang tidak lain adalah karena mempunyai mithologi yang baik bahkan disakralkan
oleh umat Hindu
4. Apabila
saya ambil dari kehidupan sehari-hari, ketika pandawa di asingkan selama 13
tahun ke hutan dan tahun ke 13 untuk menyamar adalah, saat pandawa diasingkan
ke hutan selama 12 tahun itu sama hal nya ketika kita dalam kehidupan
sehari-hari dalam masa Brahmacari atau masa menuntut ilmu, dari kita SD 6
tahun, lalu SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Semua tingkat Brahmacari yang kita
lakukan adalah sama halnya dengan ketika Pandawa diasingkan. Contoh, ketika itu
Arjuna memanfaatkan waktu pengasingan untuk bertapa di Gunung indrakila guna
memperoleh senjata Pasupati. Dari hal itu dapat saya ambil bahwasanya Arjuna
menuntut ilmu dalam masa pengasingan tersebut. Ketika tahun ke 13 yaitu
penyamaran selama satu tahun, apabila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Masa itu sama hal nya dengan masa mencari jati diri, setelah kita melalui masa
Brahmacari selama 12 tahun, kita beralih kedalam masa mencari jati diri, yang
dimana ketika masa Brahmacari, kita bisa disebut mempunyai sifat labil dan
ketika masa Brahmacari tersebut telah usai, barulah kita beralih kemasa menuju
kedewasaan.
5. Apabila
dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari ketika Krisna memberi kain kepada
Drupadi yang sedang dipermalukan oleh Dussasana adalah ketika seseorang ingin
melakukan apa yang ia inginkan, biarkanlah saja ia melakukan itu hingga ia
merasa puas. Ketika seseorang telah puas melakukan apa yang ia inginkan hingga
ia merasakan rasa bosan, ketika itulah orang itu akan berhenti dengan
sendirinya untuk melakukan itu. Muncul pertanyaan, apakah apabila seseorang
melakukan kejahatan, apakah kita membiarkannya hingga ia puas ? jawabannya
tentu saja tidak. Dalam konteks Krisna yang memberikan kain kepada Drupadi,
sangat berbeda karena saat itu sudah merupakan sebuah perjanjian antara Pandawa
dan Kurawa bahwa Drupadi menjadi bahan taruhan. Untuk menegakkan kebenaran,
Krisna melakukan cara ini dengan tujuan mencari titik jenuh dari Dussasana,
ketika Dussasana mengalami kejenuhan untuk menarik kain Drupadi karena tidak
habis-habis. Dalam hal ini Krisna tidak mau langsung membunuh atau mencelakakan
Dussasana, karena itu sudah merupakan perjanjian. Dan seorang Ksatria tidak
boleh melanggar perjanjian, oleh karena itulah Krisna memberikan secarik kain
untuk menolong Drupadi. Istilahnya seperti menyelam sambil minum air, menepati
janji sekaligus menegakkan kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar