Sabtu, 11 Januari 2014

OLEH : I KOMANG OKA ARDANA



1.      Cerita Sakuntala
Sakuntala (Sanskerta: Shākuntalā) adalah nama permaisuri Raja Duswanta, leluhur Pandawa dan Korawa dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan Ibu dari Raja Bharata yang menurunkan keluarga Bharata. Ia juga merupakan anak angkat Bagawan Kanwa. Konon Ibu kandungnya adalah bidadari Menaka dari kahyangan.
Asal-usul
Riwayat Sakuntala muncul sekilas dalam kitab Adiparwa. Dikisahkan ada seorang pertapa bernama Wiswamitra, dulu merupakan seorang Raja namun kemudian meninggalkan kehidupan istananya karena ingin mendapatkan kejayaan seperti Bagawan Wasistha. Tapanya sangat khusuk, tak tergoyahkan. Melihat hal tersebut, Dewa Indra mengutus bidadari Menaka agar menguji tapa Sang Wiswamitra. Bidadari Menaka terbang ke tempat Wiswamitra bertapa, diiringi Dewa Bayu dan Semara.
Ketika sampai di tujuan, bidadari Menaka menjalankan tugasnya. Bidadari tersebut menggoda Sang Wiswamitra sehingga nafsu birahinya muncul. Bidadari Menaka kemudian dihamili oleh Sang Wiswamitra. Setelah merasa tugasnya telah diselesaikan dengan baik, bidadari Menaka terbang kembali ke kahyangan sementara Sang Wiswamitra pergi meninggalkan tempat pertapaannya karena gagal. Di tepi sungai Malini, Sang bidadari melahirkan bayi perempuan. Bayi tersebut ditinggalkan seorang diri di sana sementara ibunya terbang ke kahyangan tanpa cinta kasih. Kemudian sang bayi dirawat oleh burung Sakuni.
Bagawan Kanwa yang sedang mencari kembang di sekitar sungai Malini terkejut melihat seorang bayi tergeletak, dirawat oleh burung Sakuni. Lalu bayi itu dipungut, diberkahi, dipelihara, dan diberi nama Sakuntala karena dirawat oleh burung Sakuni.

Sakuntala dan Raja Duswanta

Pada suatu ketika, Prabu Duswanta pergi berburu sampai ke tengah hutan di kaki gunung Himawan. Setelah masuk jauh ke tengah hutan, ia menemukan lokasi pertapaan yang sangat indah, yang ternyata kediaman Bagawan Kanwa. Di sana ia disambut dengan ramah oleh puteri cantik jelita bernama Sakuntala. Melihat wajah sang puteri petapa yang sangat elok, timbulah keinginan Sang Raja untuk menikahinya. Sakuntala menolak, namun dirayu terus oleh Sang Raja. Akhirnya Sakuntala bersedia menikahi Sang Raja dengan syarat bahwa anak yang dilahirkannya harus menjadi pewaris tahta Sang Raja. Karena diselimuti rasa cinta, Sang Raja bersedia memenuhi permohonan tersebut. Kemudian Sang Raja bercinta dengan Sakuntala. Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan pertapaan karena terikat oleh kewajibannya sebagai seorang Raja. Ia pun pulang dan berjanji bahwa kelak ia akan kembali lagi ke pertapaan tersebut untuk menjemput Sakuntala beserta anaknya jika sudah lahir. Ketika Sakuntala termenung mengenang kepergian Sang Raja, Bagawan Kanwa pulang dari hutan sambil membawa bunga dan kayu bakar. Sakuntala hanya diam membisu. Karena kesaktiannya, Bagawan Kanwa mengetahui kejadian yang dialami Sakuntala meskipun Sakuntala bungkam. Bagawan Kanwa membesarkan hati Sakuntala dan memberinya kata-kata yang lembut. Nasihat Bagawan Kanwa menyejukkan hati Sakuntala.

Kelahiran Sang Bharata

Dari hasil hubungannya dengan Raja Duswanta, lahirlah seorang putera rupawan, diberi nama Sarwadamana. Tanda-tanda ia merupakan calon seorang penguasa dunia tampak dari gambar cakra di telapak tangannya. Setelah anaknya lahir, Sakuntala dengan setia menunggu kedatangan Raja Duswanta. Namun Sang Raja tak kunjung datang. Hati Sakuntala menjadi semakin sedih memikirkan masa depan anaknya yang tak kunjung dijemput sang ayah sebagai pewaris kerajaan. Melihat hal tersebut, Bagawan Kanwa menyuruh Sakuntala beserta anaknya agar pergi menghadap Sang Raja di ibukota.

Penolakan Sang Raja

Karena ingin agar anaknya menjadi Raja, Sakuntala rela pergi ke ibukota. Setelah sampai di ibukota, Sakuntala menghadap Sang Raja yang sedang bersidang di istana kerajaan. Di depan umum, Sakuntala menjelaskan maksud kedatangannya bahwa ia hendak menyerahkan puteranya, Sarwadamana, sebagai putera mahkota karena janji Sang Raja. Mendengar pengakuan tersebut, Raja Duswanta menolak kebenaran perkataan Sakuntala. Bahkan ia menolak telah menikah dan memiliki anak dari Sakuntala. Ia juga menghina dan mencela Sakuntala di muka umum. Sakuntala menangis karena dipermalukan. Bagaimana pun penjelasannya agar Sang Raja mau mengakui Sarwadamana sebagai putera, Sang Raja selalu mengelak.

Tiba-tiba terdengar suara dari langit yang membenarkan perkataan Sakuntala. Raja tak bisa mengelak lagi lalu ia menyongsong dan memeluk Sakuntala beserta anaknya. Kemudian ia menagis karena bahagia sambil berkata, "Duhai Sakuntala, sebenarnya aku sangat gembira akan kedatanganmu. Namun aku terhalang karena kedudukanku sebagai Raja. Apa kata dunia bila aku menikahimu  yang tidak dikira sebagai istriku?


Kini kesangsian itu tak ada lagi, karena semuanya telah mendengar sabda dari langit yang membenarkan ucapanmu. Karena itu, engkau adalah istriku dan Sarwadamana adalah puteraku. Ia akan kuangkat sebagai Raja menggantikan kekuasaanku. Namanya kuganti menjadi Bharata karena berdasarkan sabda dari langit".

Setelah Raja Duswanta berkata demikian, ia menyerahkan tahta kepada Sarwadamana yang berganti nama menjadi Bharata. Kemudian Bharata menaklukkan daratan India Kuno (Bharatawarsha) dan menurunkan Kuru, yang menurunkan Wangsa Kaurawa (Korawa).

Kajian :
      Dari cerita tersebut dapat saya kaji bahwa janganlah seorang wanita mudah mempercayai kata-kata lelaki, karena lelaki sangatlah mudah untuk mengumbar janji. Maka dari itu, sebagai wanita hendaknya jagalah diri baik-baik agar tidak terjerumus ke dalam hal yang tidak di inginkan. Karena ketika seorang wanita telah kehilangan kehormatannya, maka kehormatannya akan hilang untuk selamanya.
2.      Cerita Jaratkaru
Ada seorang brahmana yang bernama Jaratkaru, sebabnya oleh raja disebut Jaratkaru, jaratiksayam ity ahuh, (karena) jarat berarti suka mengalah (kemunduran), karunikasya tad bhayam, suka berbelas kasih, tempat berlindung bagi yang sedang dalam ketakutan, oleh karena itu (dia) benar-benar luar biasa, seyogyanyalah (dia) disegani, karena sifatnya yang suka mengalah. Teringatlah dia akan penjelmaan badan, karur iti smrtah, karena itu namanya Jaratkaru, (yang mana) takut kepada kesengsaraan penjelmaan. Ya ta warakulotpannah, dia adalah putera seorang Bikhu (pendeta) yang mempunyai tapa yang luar biasa, seorang Bikhu yang gembira memungut padi yang tersebar dan telah terbuang di jalan, yang dicari (dan) dibersihkannya. Akhirnya menjadi banyaklah (padi yang dikumpulkannya itu), kemudian ditanaknya (padi-padi itu), (yang mana) ketika itu disajikannya kepada Bhatara (dewa-dewa) serta memberikannya kepada para tamu. Begitulah tapa orang tuanya, tahan akan penderitaan, tidak bergaul dengan perempuan, hanya tapa yang dibesarkannya, diajarinya, menderita membuat tapa. Ketika itu Maharaja Parikesit berburu, lalu dikutuk oleh Bhagawan Sranggi dimakan oleh ular Taksaka. Oleh karena itulah Jaratkaru membuat tapa. Setelah dia manjur mantranya, dia (dapat) pergi ke segala alam, (dapat) mengunjungi ke segala tempat asing hendak dia datangi dan (dapat) berjalan di atas air. Makin lama makin jauh perjalanannya, sampai dia terbawa ke Ayatanasthana, yaitu suatu tempat yang mengantarai surga dan neraka, tempatnya arwah menunggu (untuk) mendapatkan surga-neraka. Tempat itu terkunjungi oleh Jaratkaru, dia berada di Ayatanasthana.
Ada satu arwah yang digantung di sebatang bambu, yang digantung sungsang dan diikat kakinya. Di bawahnya adalah jurang yang dalam yang menuju ke alam neraka. Jika bambu itu patah, maka yang digantung itu akan menuju ke tempat itu (alam neraka). Ada seekor tikus tinggal di lobang bambu yang dipinggir jurang itu. Setiap hari dia menggigit bambu itu. Hal itu terlihat oleh Jaratkaru, sehingga mengalirlah air matanya, maka dari itu berbelas kasihlah dia, hancur luluh hatinya kepada arwah yang digantung terbalik di ujung bambu itu serta diikat kakinya. Jaratkaru terpengaruh hatinya oleh arwah yang menyerupai seorang Bikhu yang berambut terjalin serta berpakaian dari kulit pohon. Tidak sepantasnyalah dia menghadapi kesengsaraan yang dideritanya. Dia menderita tidak makan seperti daun yang tergantung, yang kekeringan karena kemarau, yang berayun-ayun oleh karena angin deras, dia tidak makan selalu. Demikianlah keadaan arwah itu.
“Ke Bhawanto walambante wiranastambam acritah”
Kata Jaratkaru: "Siapakah tuanku yang digantung di sebatang bambu yang hampir patah oleh gigitan tikus, yang hampir jatuh ke dalam jurang yang tidak diketahui dalamnya. Keadaan yang demikian itu membuat sangat sedih hati hamba, sehingga hamba menaruh belas kasih hendak menolong engkau. Hamba membuat tapa sejak masih kanak-kanak serta menimbun beratnya tapa hamba, lalu sampai ke sini dan melihat tuanku yang menderita, sehingga berbelas kasihlah hamba melihat kesengsaraanmu. Seberapa besar pahala dari tapa hamba yang harus hamba berikan, supaya engkau dapat pulang ke surga sehingga dapat berhenti menghadapi sengsara? Seperempatkah atau setengahkah yang dapat aku berikan sesuai dengan jalanmu untuk mendapatkan surga". Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh arwah itu. Menjawablah dia dengan sangat dingin seperti disiram oleh air hidup hatinya:
"Tapawrata karma wayam. Hamba ditanya oleh tuanku, dan akan kuberitahukan semua keadaanku, umarambam krtam karma santanam preksayetrato, Itu semua terjadi karena akan putus keturunanku. Karena itulah aku terputus dari Pitraloka (alam arwah para leluhur) dan bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah hampir jatuh ke alam neraka. Sebenarnya aku mempunyai satu keturunan. Namanya Jaratkaru. Tetapi dia moksa juga, hendak meluputkan segala sesuatu yang membelenggu manusia, tidak beristri, menjadi murid brahmana yang suci. Jika seandainya keturunanku terputus, maka akibatnya adalah binasa. Semula aku senang terutama oleh pekerjaan tapa yang istimewa. Tetapi hal yang demikianlah yang terjadi sekarang ini, yaitu dengan tidak adanya keturunanku, tidak ada perbedaan antara aku dengan orang yang melakukan perbuatan dosa, yang sama-sama menghadapi kesengsaraan. Hal inilah yang dapat engkau lakukan jika engkau berbelas kasih "Bikhu itu bernama Jaratkaru, minta belas kasihlah kepadanya. Suruh supaya dia beranak, agar supaya aku dapat pulang ke Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku menghadapi sengsara, agar supaya hatinya dapat berbelas kasih".
Dengan arwah itu berbicara, maka semakin mengalir air mata Jaratkaru. Seperti diiris hatinya melihat bapaknya menghadapi keadaan susah: "Hamba ini bernama Jaratkaru, keturunanmu yang tamak akan tapa, yang mengingini kedudukan sebagai murid brahmana. Aku kira sekarang ini engkau belum selesai, padahal telah sempurna tapa yang telah dibuat. Adapun sekarang, mengenai jalanmu pulang ke surga, janganlah tuanku khawatirkan. Biarlah hamba berhenti sebagai murid brahmana, dengan mencari istri sehingga hamba dapat mendapatkan anak. Adapun yang hamba kehendaki sebagai istri adalah yang senama dengan nama hamba, agar tidak ada halangan bagi perkawinan hamba. Jikalau hamba telah mempunyai anak, biarlah hamba dapat menjadi murid brahmana lagi. Tenangkanlah hati tuanku."
Demikianlah kata Jaratkaru. Berjalanlah dia mencari istri yang senama dengan dirinya. Ketika dia mengembara mencari istri, ketika itu maharaja Janamejaya baru beristrikan Bhamustiman. Pada waktu itulah Jaratkaru mengembara. Telah sepuluh daerah (desa) yang dijelajahinya, tetapi dia tidak mendapatkan istri yang senama dengannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya untuk memikirkan upaya agar bapaknya keluar dari sengsara. Kemudian menyusuplah dia ke hutan yang sunyi, menangis dan memanggil segala dewa, segala butha (makhluk raksasa), katanya:
Yani bhutani santiha, janggamani sthirani ca” , hai semua butha, para makhluk hidup yang menjadi penjelmaanmu, hamba bernama Jaratkaru, seorang brahmana yang hendak beristri. Berilah hamba istri yang senama dengan hamba, yaitu yang bernama Jaratkaru, supaya hamba mendapat anak, sehingga orang tuaku dapat memperoleh surga.
Demikianlah tangis Jaratkaru. Ketika keributan itu terjadi (tangis Jaratkaru) itu terdengar oleh semua naga (ular) yang disuruh oleh Basuki untuk mencari seorang brahmana yang bernama Jaratkaru supaya brahmana itu mempunyai anak dari adiknya yang akan diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama Jaratkaru, supaya anak yang dilahirkan itu akan membebaskan mereka (ular-ular tadi) dari korban ular. Itulah maksud Basuki menyuruh ular-ular itu pergi mencari seorang brahmana bernama Jaratkaru. Dan ketika terdengar oleh mereka tangis Jaratkaru, gembiralah mereka dan memberitahukan kepada Basuki supaya mengundang Jaratkaru dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya kepada Jaratkaru. Dibawa pulanglah dia (Jaratkaru) oleh Basuki, dan dikawinkannyalah dia serta dinikahkanlah dia dengan upacara yang telah semestinya. Selama dia (Jaratkaru) duduk di tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya:
"Saya berjanji dengan engkau, jika engkau mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau".        Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Hidup bersamalah mereka. Setelah beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru. Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya ditunggui ketika tidur, ketika dia bermaksud mau meninggalkan istrinya. Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh istrinya, katanya:
“Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur". Dengan hati-hati si istri memangku kepala si suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang. Teringatlah si naga perempuan Jaratkaru, katanya:
"Sekarang adalah waktu sorenya para dewa. Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau terlambat sembahyang karena itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa." Lalu dibangunkanlah si suami.
"Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku! Sekarang waktu telah senja tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-bauan dan padi."
Demikianlah katanya sambil mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah Jaratkaru. Cahaya kemarahan memancar pada matanya dan memerah mukanya karena marah besarnya. Katanya:
"Cih! Engkau naga perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri menghinaku.  Ayukto maryadah strinam, engkau sampai hati mengganggu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau sekarang ini."
Demikianlah sudah dia kemudian meninggalkan si istri. Ikutlah si naga perempuan, dan lari memeluk si suami:
"Hai tuanku, maafkan hamba tuanku! Bukan maksud hati menghina, jika hamba membangunkan tuanku. Hamba hanya mengingatkan sembahyangmu tiap senja. Salahkah itu, sehingga aku menyembah tuanku. Seyogyanyalah engkau kembali tuan yang terhormat. Jika hamba telah beranak, di mana anak itu akan menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, maka tuanku dapat membuat tapa lagi."
Demikianlah kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab: "Alangkah pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk memuja dewa ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau kuatir. Asti, itulah nama anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari korban ular. Tenangkanlah hatimu". Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat ditahan. Si naga perempuan memberitahukan kepada Basuki akan kepergian si suami. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa perutnya ada isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. Setelah beberapa lama, lahirlah anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak itu Astika, karena si bapak mengucapkan "asti".
Dipeliharalah dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu melesat pulang ke Pitraloka, menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Demikianlah cerita tentang Astika. Dia adalah orang yang membuat naga Taksaka terhindar dari korban ular maharaja Janamejaya.
Kajian :
Dari cerita tersebut dapat saya kaji bahwa sebagai manusia kita harus menjalankan catur Asrama dengan baik yaitu pertama masa Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta dan Samnyasin. Janganlah hanya berfokus hanya dengan apa yang ingin kita capai saja, lakukanlah kewajiban kita sebagai anak yaitu memperoleh keturunan. Dengan demikian maka perputaran siklus kehidupan akan seimbang, dimana seperti dicerita di atas dengan memperoleh keturunan maka akan dapat menolong para leluhur. Dan apabila dilihat ketika Jaratkaru marah saat sang istri membangunkannya, itu sangat tidak baik. Seharusnya seorang brahmana harus mampu mengendalikan kemarahannya, dan tidak sembarangan mengucapkan sebuah perkataan. Ini berlaku pula kepada manusia zaman sekarang, yang dimana kita sebagai manusia harus dapat memilah bagaimana perbuatan yang baik dan bagaimana perbuatan yang tidak baik. Ketika kita sudah dapat melihat mana perbuatan yang baik dan tidak baik, saat itulah kita dapat melakukan apa yang sepantasnya dilakukan.  
3.      Mithologi Krisna, Arjuna dan Hanoman sebagai Umbul-umbul
                  Umbul-umbul adalah salah satu alat upacara yang dipergunakan di pura pada waktu piodalan atau upacara lainnya di suatu pura. Tetapi umbul-umbul sudah menghiasi tempat-tempat pertunjukkan kesenian uang nota bene tempat tersebut hanya sebagai tempat hiburan atau kegiatan yang bersifat seremonial saja dan tidak ada kaitannya dengan kegiatan upacara.
            Seperti yang telah kita ketahui bahwa mempunyai mithologi yang mengambil cerita Arjuna Pramada yaitu diceritakan Prabhu Yudistira bermaksud membuat istana yang indah, maka disuruhlah adik-adiknya mencari contoh istana yang bisa untuk ditiru. Dalam persidangan, Arjuna menceritakan bahwa konon ada istana yang sangat indah yaitu istana alengka tempat dewi Sita diculik oleh Rahwana. Dimana katanya matahari selalu bersinar lembut dan angin yang datang bertiup sepoi-sepoi. Akhirnya Yudistira mengutus Arjuna untuk pergi kesana dan Arjuna meminta bantuan Krisna untuk mengantarnya. Setelah sampai di tepi pantai, menyebrang ke Alengka, maka dilihatlah sebuah jembatan yang dahulu dibuat oleh bala bantuan tentara monyet dari Sri Rama. Krisna dan Arjuna tertegun termenung dengan pikirannya masing-masing setelah melihat jembatan itu. Sri Krisna terkenang dengan penjelmaannya yang terdahulu pada waktu beliau berinkarnasi lahir sebagai Sri Rama Dewa dan teringat serta rindu pada kesetiaan Hanoman. Kerinduan ini yang menyebaban Hanoman yang sedang bertapa tertarik oleh kerinduan Sri Krisna dan dengan seketika Hanoman datang meloncat kehadapan Sri Krisna. Di lain pihak Arjuna berkata kepada Sri Krisna “Kanda, saya sepertinya tidak percaya dengan kehebatan Hanoman, Sugriwa, Anila dank era yang lainnya, yang dikatakan begitu sakti. Lalu mengapa membuat jembatan ini mengambil waktu berhari-hari ? Saya dengan sekejap saja bisa membuatnya” kata Arjuna dan ini di dengar oleh Hanoman lalu Hanoman berkata “Ya Arjuna, bala tentara Sang Rama sangatlah banyak, sebab itu kami membuat jembatan yang kokoh” Arjuna menjawab “Ya saya bisa membuat jembatan yag kokoh, barang siapa yang bisa mematahkan jembatan yang saya buat, saya akan sembah”. Kalau begitu cobalah, kata Hanoman. Arjuna mengambil panah Naganya dan begitu di lontarkan langsung menjadi jembatan yang kokoh dan sejajar dengan jembatan sang Rama, kemudian Hanoman melompat keatas jembatan itudan begitu melompat patahlah jembatan itu. Melihat kejadian ini, Sri Krisna lalu melepaskan panahnya lagi sehingga jembatan itu kembali sebagaimana semula dan Hanoman mencoba mematahkan lagi tetapi tidak bisa. Sadarlah Hanoman bahwa yang di hadapinya adalah junjungannya, Sang Rama Dewa yang terlahir kembali menjadi Sri Krisna lalu Hanoman mendekati Sri Krisna mau menyembahnya.
            Sebaliknya, Arjuna mendekati Hanoman untuk menyembahnya karena jembatan yang dibuat Arjuna telah di patahkan oleh Hanoman, tetapi Hanoman menolak dengan mengatakan bahwa manusia tidak boleh menyembah binatang karena dia masih berupa monyet. Arjuna bersikeras untuk menyembahnya dengan mengatakan “Saya adalah ksatria Pandawa, saya tidak boleh ingkar pada kata-kata saya”. Perdebatan ini diketahui oleh Sri Krisna dengan menasehati Arjuna “Janganlah merasa diri sakti, bahwa tidak ada mahluk di dunia ini yang sakti, hanya Tuhanlah yang maha sakti, sebab hanya beliaulah yang patut disembah. Namun agar hutang sembah Arjuna itu dilunasi maka dikutuklah jembatan yang dibuat Arjuna itu sebagai umbul-umbul, dengan pesan agar manusia jangan takabur seperti Arjuna. Maka dimana pun ada parhyangan atau pelinggih Dewa maka di mukanya dipancangkan umbul-umbul dan kober bergambar wanara.
Kajian:
            Yang dapat saya kaji dari cerita tersebut adalah bahwasanya kita sebagai manusia jangan pernah menyombongkan diri kita lah yang paling hebat, kitalah yang paling pintar. Melainkan kita juga harus menghargai kemampuan orang lain. Sebab yang maha sakti dan segala-galanya adalah Tuhan dan tiada yang dapat menandingi kekuatannya. Dan dengan di buatkannya umbul-umbul dalam setiap parhyangan maka dengan demikian orang-orang akan selalu ingat pada peristiwa Arjuna dengan Hanoman dan dengan menyembah di hadapan parhyangan, maka umbul-umbul dan bendera Hanoman ikut disembah sebagai penebus janji bagi Arjuna yaitu menyembah Hanoman yang telah mematahkan jembatan Arjuna. Dan untuk meyakinkan peristiwa itu maka umbul-umbul dihiasi dengan gambar naga (panah) naga dari Arjuna dan gambar wanara yaitu gambar Hanoman, dengan itu kita sadari bahwa mengapa kita menyucikan umbul-umbul yang tidak lain adalah karena mempunyai mithologi yang baik bahkan disakralkan oleh umat Hindu
4.      Apabila saya ambil dari kehidupan sehari-hari, ketika pandawa di asingkan selama 13 tahun ke hutan dan tahun ke 13 untuk menyamar adalah, saat pandawa diasingkan ke hutan selama 12 tahun itu sama hal nya ketika kita dalam kehidupan sehari-hari dalam masa Brahmacari atau masa menuntut ilmu, dari kita SD 6 tahun, lalu SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Semua tingkat Brahmacari yang kita lakukan adalah sama halnya dengan ketika Pandawa diasingkan. Contoh, ketika itu Arjuna memanfaatkan waktu pengasingan untuk bertapa di Gunung indrakila guna memperoleh senjata Pasupati. Dari hal itu dapat saya ambil bahwasanya Arjuna menuntut ilmu dalam masa pengasingan tersebut. Ketika tahun ke 13 yaitu penyamaran selama satu tahun, apabila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Masa itu sama hal nya dengan masa mencari jati diri, setelah kita melalui masa Brahmacari selama 12 tahun, kita beralih kedalam masa mencari jati diri, yang dimana ketika masa Brahmacari, kita bisa disebut mempunyai sifat labil dan ketika masa Brahmacari tersebut telah usai, barulah kita beralih kemasa menuju kedewasaan.
5.      Apabila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari ketika Krisna memberi kain kepada Drupadi yang sedang dipermalukan oleh Dussasana adalah ketika seseorang ingin melakukan apa yang ia inginkan, biarkanlah saja ia melakukan itu hingga ia merasa puas. Ketika seseorang telah puas melakukan apa yang ia inginkan hingga ia merasakan rasa bosan, ketika itulah orang itu akan berhenti dengan sendirinya untuk melakukan itu. Muncul pertanyaan, apakah apabila seseorang melakukan kejahatan, apakah kita membiarkannya hingga ia puas ? jawabannya tentu saja tidak. Dalam konteks Krisna yang memberikan kain kepada Drupadi, sangat berbeda karena saat itu sudah merupakan sebuah perjanjian antara Pandawa dan Kurawa bahwa Drupadi menjadi bahan taruhan. Untuk menegakkan kebenaran, Krisna melakukan cara ini dengan tujuan mencari titik jenuh dari Dussasana, ketika Dussasana mengalami kejenuhan untuk menarik kain Drupadi karena tidak habis-habis. Dalam hal ini Krisna tidak mau langsung membunuh atau mencelakakan Dussasana, karena itu sudah merupakan perjanjian. Dan seorang Ksatria tidak boleh melanggar perjanjian, oleh karena itulah Krisna memberikan secarik kain untuk menolong Drupadi. Istilahnya seperti menyelam sambil minum air, menepati janji sekaligus menegakkan kebenaran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar